BAB 1 : A Strange Death

2K 209 37
                                    

Pukul dua siang, langit nampak gelap karena awan cumulonimbus sudah menggantung di atas sana. Menutupi sinar matahari yang beberapa menit lalu masih nampak tersenyum cerah. Bahkan, rintik hujan kini mulai turun, menghantam apa pun yang ada di bawahnya, perlahan berjatuhan semakin deras. Anak-anak sekolah yang memakai seragam putih biru itu berlarian menghindari hujan menuju halte, mengorbankan tas mereka untuk melindungi kepala dari air hujan.

Jika kalian di atas sana, kalian bisa melihat bulatan warna hitam bergerak santai di antara anak-anak lainnya yang berlarian menghindari hujan. Perkiraan cuaca yang terkadang selalu meleset belakangan ini membuat Albiru selalu sigap membawa payung dari rumah.

“Untung tadi pagi Ibu ngingetin,” gumam Albiru bersyukur, pagi tadi ia hampir lupa sebenarnya karena buru-buru, tetapi untunglah ibunya selalu mengingatkan.

Sebetulnya, jarak dari rumah ke sekolah tidak terlalu jauh, masih bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar lima belas menit dengan kecepatan normal, menggunakan jalan alternatif tentu saja. Karenanya, Albiru jarang menggunakan kendaraan, sekalian menjaga kesehatan dengan banyak berjalan, katanya.

Berbelok ke arah gang di bagian kanan, Albiru melewati beberapa genangan air yang sudah terbentuk. Ia melompat kecil, menikmati perjalanan menuju rumahnya ditemani suara hujan yang khas.

Saat melewati taman bermain, ia melihat pria berusia sekitar 60 tahunan kesusahan membawa barang-barangnya. Tanpa berpikir dua kali Albiru segera mendekat, berjalan di samping pria itu sembari memayunginya. Tak peduli jika seragam bagian kanannya sudah merembes air hujan.

“Biar aku bantu, ya, Pak,” tawar Albiru. Tangan kirinya memegang payung memastikan pria ini tak tersentuh oleh air hujan, sedangkan tangan kanannya mengambil alih keresek besar dari tangan pria tua yang sudah menampilkan senyuman sampai matanya ikut menyipit.

“Terima kasih,” katanya, membuat Albiru mengangguk dan balas tersenyum.

Albiru menuntunnya ke salah satu gerai yang sudah tidak berfungsi untuk meneduh karena hujan masih terlalu deras. Ia mendudukkan kakek itu di salah satu bangku yang ada di sana, untungnya masih mampu menopang berat tubuh belum terlalu rapuh.

“Kakek mau ke mana?” tanya Albiru, ia berdiri di samping pria tua itu.

Alih-alih menjawab, kakek itu menunjuk keresek hitam yang masih Albiru tenteng di tangannya. Segera Albiru menyerahkan keresek itu ke pangkuan kakek.

“Berjualan.” Kakek itu baru membalas pertanyaan Albiru, membuka ikatan keresek hitam besar dan menunjukkannya kepada Albiru. Isinya penuh dengan mainan anak-anak, dari mulai mobil-mobilan kecil, gantungan kunci karakter, rumah-rumahan, dan lain sebagainya.

“Jadi, Kakek berjualan keliling?”

Kakek mengangguk, dipadukan dengan senyuman seteduh biasan cahaya pelangi yang akan muncul setelah hujan turun. Bahkan dalam gurat senyumnya itu, Albiru tidak menemukan rasa lelah ataupun keluhan.

“Kasian. Apalagi hujan kayak gini, pasti Kakek kesusahan, ya?” Albiru menatap iba kakek.

Kakek menatap lurus ke depan, menyaksikan rintik hujan yang berjatuhan ke tanah. “Hujan itu berkah. Rahmat dari Tuhan yang harus disyukuri karena bisa menghidupkan semua elemen kehidupan dan bisa memberikan harapan,” ujar kakek. Ia menoleh ke arah Albiru. “Saat hujan, berdoa pun bisa dikabulkan.”

Hetairoi : The King Of Imperium SchoolTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang