24. Cemburu?

66 46 13
                                    

Lino POV'S

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lino POV'S

Aku menikmati suasana indah di bawah pohon mangga ini sambil terus memantau para prajurit dari kejauhan. Udara di sore hari begitu menenangkan, dengan angin sepoi-sepoi dan burung-burung yang kembali ke sarangnya.

Saat aku menatap langit, kata-kata Anjani pada saat itu terus menghantui pikiranku. "Benar, Lino. Bunga itu memang belum mekar sepenuhnya, sama seperti hubungan kita yang belum sepenuhnya membaik." Aku merenung tentang kata-kata itu, mempertanyakan apakah dia benar-benar berubah. Apakah aku harus memaafkannya?

Tiba-tiba, aku mendengar suaranya yang lantang sedang menyapa para pelayan dan prajurit. Dia terlihat begitu ceria, seolah-olah sedang menyapa teman-temannya. Aku berpura-pura tidak melihat atau menyadari kehadirannya di dekatku.

Namun, dia tiba-tiba berteriak tepat di dekat telingaku, membuat telingaku berdenging. Aku menoleh dan menatapnya dengan tajam. "Itukan bunga yang kemarin aku berikan padamu, kenapa kamu menyimpannya, Lino?" Sial, aku lupa menyembunyikan bunga itu. Dengan cepat, aku memasukkannya ke dalam saku.

Beberapa menit kemudian, aku melihat dia sedang berfikir keras tentang sesuatu yang tampaknya sangat penting. Aku mulai bertanya padanya tentang apa yang sedang dipikirkannya, dan jawabannya benar-benar di luar dugaanku.

"Lino, apa kamu tidak lelah selalu membenciku? Kita sudah bersama berbulan-bulan, apakah kamu masih sangat membenciku?" ucapnya dengan serius.

"Bisakah kamu memaafkanku atas semua yang terjadi di masa lalu?" kali ini aku melihat ketulusan di matanya.

"Aku akan memaafkanmu, tapi ada syaratnya," ucapku dengan ragu.

"Apa syaratnya, Lino?"

"Berhentilah mengungkit hal itu, aku juga mulai melupakannya," jawabku dengan tegas, meskipun sebenarnya aku masih sangat mengingatnya.

"Hanya itu? Tentu! Aku tidak akan mengungkitnya lagi!" Kulihat dia begitu bahagia, bahkan hampir memelukku.

Aku yang biasanya selalu waspada terhadap sentuhannya, tanpa sengaja melepaskan tangannya secara kasar. Aku merasa sedikit bersalah, tapi ekspresinya tidak berubah sama sekali. Dia malah terlihat lebih manis.

Apakah ini sekarang sudah menjadi hal yang biasa baginya?

Karena merasa bosan, dia mengajakku untuk pergi ke desa dan berjalan-jalan. Aku setuju karena sudah lama sekali aku tidak bertemu dengan para rakyatku. Kami berjalan sepanjang perjalanan, dan dia terus saja mengajukan banyak pertanyaan.

Awalnya, pertanyaan-pertanyaannya membuatku agak frustrasi. Namun, tiba-tiba dia menadahkan tangannya seolah sedang berdoa. Aku mendengar gumamannya yang membuatku terkejut, "Tuhan, apakah aku harus bersama dengan bedebah  ini sepanjang hidupku?"

Aku merasa tersinggung dengan kata-katanya, "Siapa yang kamu sebut bedebah? Aku?" Aku menatapnya dengan tatapan tajam, tapi kulihat dia malah berbicara gagap dan menunjuk ke arah sebuah batu besar di depan kami. Ide jahil muncul di pikiranku.

PURNACANDRA (Bulan Purnama) END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang