36. Kedatangan Yara

37 22 8
                                    

Dengan sigap, aku melompat turun dari punggung kudaku, mataku terpaku pada lautan prajurit yang telah menghuni halaman depan kediamanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan sigap, aku melompat turun dari punggung kudaku, mataku terpaku pada lautan prajurit yang telah menghuni halaman depan kediamanku. Mungkin ada seribu, atau bahkan tiga ribu prajurit, atau mungkin jumlah mereka jauh lebih banyak dari itu.

Dengan langkah cepat dan mantap, aku berlari menuju mereka. Mereka semua menunduk dalam penghormatan saat aku mendekat. Aku berhenti di hadapan salah satu prajurit, "Kenapa kalian semua di sini?" tanyaku, nada suaraku dipenuhi dengan kebingungan.

Prajurit itu menjawab sambil masih menunduk, "Nyonya dan nona yang memberi perintah untuk ikut bersama mereka kemari."

Aku terkesiap, "APA!!!" suaraku bergema di seluruh area, memotong keheningan. Tanpa buang waktu, aku bergegas masuki kediamanku.

Begitu pintu terbuka, aku terpaku melihat nenek dan Yara sedang duduk santai di kursi, menikmati secangkir teh. Mereka tersenyum melihatku, seolah mengetahui apa yang baru saja terjadi.

"Kau dari tempat itu lagi, Kai?" ujar Yara dengan senyuman sinis. Aku masih terpaku, tidak bisa berkata apa-apa. Dia beranjak dari kursinya dan berjalan perlahan mendekatiku.

"Kau sepertinya tak mendengar peringatan yang ku berikan beberapa tahun yang lalu…" ucapnya dengan nada lembut, namun penuh ancaman.

"Yara!! apa-apaan ini!? Berhentilah!! Kerajaan itu tak pernah berbuat salah pada kita!! dan kau berjanji padaku untuk tak kembali lagi ke sini!" teriakku, mencoba menahan marah dan kebingungan.

Tapi Yara tidak peduli. Dia memegang kerah bajuku, menatapku dengan tatapan penuh kemarahan. "Mereka bersalah, mereka berdosa!! Mereka membunuh kedua orang tua kita, Kai!!!" teriaknya di wajahku, tanpa melepaskan cengkramannya di kerah bajuku.

"Adikmu benar, Kai!" Nenek kini yang berbicara, suaranya serak namun penuh dengan kekuatan.

Dengan gerakan tiba-tiba dan kasar, aku melepaskan cengkraman Yara. "Apa yang kau tahu, Yara?! Nenek hanya memprovokasimu!! Dia hanya memanfaatkanmu untuk merebut kerajaan itu!! Mereka memang pantas mati, mereka membayar atas kesalahan mereka sendiri!!" ucapku, nada suaraku dipenuhi oleh kemarahan yang mendalam.

Aku melihat ekspresi wajah Yara berubah, tampak terkejut dengan pernyataanku. Tiba-tiba, nenek beranjak dari kursinya dan berjalan mendekatiku. Dengan gerakan cepat dan tiba-tiba, tangannya mendarat di pipiku, sebuah tamparan keras.

"Dasar anak yang tak tahu berterima kasih! Orang tuamu mati karena mereka sengaja membunuhnya, kau mengerti!!" teriak nenek, wajahnya memerah dan mata berkilat dengan kemarahan.

Aku memegangi pipi yang baru saja ditampar, merasakan panas di sana. "Kau tak perlu berbohong padaku, nenek. Anjani sendiri yang menceritakan semua kejadiannya itu padaku! Dia tak pernah berbohong padaku!" ucapku, mencoba menenangkan diri dan berusaha memahami apa yang baru saja terjadi.

"Ternyata kau masih mempercayai wanita sialan itu, Kai?!!" ucap Yara, suaranya penuh dengan kekecewaan dan kemarahan.

"Diam, Yara!! Jangan berbicara buruk tentangnya!!" teriakku, membela wanita yang telah menjadi sahabatku.

PURNACANDRA (Bulan Purnama) END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang