"Mbak sekarang jadi rajin pulang."
Salsa hanya tersenyum mendengar pengamatan adik semata wayangnya itu. Di depan mereka ada tiga bungkus nasi goreng yang dibeli Salsa sebelum dia sampai di rumah.
Setelah mendengar alasan 'pertengkaran' Raihan dengan Nanda ketika di rumah sakit, Salsa jadi merasa bersalah. Lebih tepatnya, serba salah. Karena itulah dia sering pulang ke Madiun tiap akhir pekan, bukannya setiap dua-tiga bulan sekali seperti dulu.
Kalau dia menetap di Madiun, Bapak akan sering kambuh mengingat lelaki itu lebih mudah tersulut emosi setiap melihat Salsa. Di sisi lain, mendengar Raihan beranggapan bahwa dia sengaja menetap di Malang untuk 'kabur' pun membuat hatinya serasa diganjal batu yang berat. Salsa pikir, Raihan akan bisa memahami keadaan Salsa. Namun ternyata, adiknya itu tetaplah remaja yang tumbuh tanpa bimbingan orang tua. Sedikit banyak, dia jadi menyalahkan dirinya sendiri karena hanya fokus pada pendidikan formal sang adik dan kebutuhan hidup sehari-hari. Salsa memang jarang sengaja mendengarkan opini Raihan dan memutuskan semuanya sendiri.
"Kalau nggak pulang, kamu nanti kangen?" Salsa menggoda Raihan yang segera disambut dengan dengusan kecil. Salsa tertawa, mengusak rambut tebal Raihan yang mulai memanjang. Dia menarik beberapa jumput, membuat lelaki itu mengerang pendek.
"Opo to Mbak?!" keluhnya bingung.
"Udah panjang ini rambutmu. Ndang potong! Nggak dimarahin guru BK-mu?"
Raihan menggeleng-gelengkan kepala. "Iyo, iyo! Nanti tak potong," remaja itu bergeser sedikit, kemudian duduk di kursi meja makan. Salsa mengikuti gerakannya, lalu duduk di kursi sebelah Raihan.
"Bapak sudah tidur?" tanya Salsa, sedikit berbisik. Raihan mendehem mengiyakan. Tangannya bergerak lincah membuka bungkus nasi yang diletakkan Salsa di meja.
"Mbak nggak usah terlalu sering pulang. Aku sekarang ngerti kenapa Mbak jarang pulang,"
Salsa yang juga membuka bungkus nasi menghentikan gerakan tangannya. Ia mendesah pendek. "Nggak apa-apa. Mbak yo pengin pulang, kok."
"Masih bertengkar sama Mas Nanda, yo?" tembak Raihan.
"Bertengkar opo sih? Nggak, kok!" kilah Salsa cepat. "By the way, kita ini jarang banget makan bareng begini, ya, Dek?"
"Yo jarang wong sampeyan arang mulih, og," ledek Raihan sambil melahap sesendok nasi goreng miliknya. Salsa mencibir, kemudian tersenyum maklum. Lagi-lagi ia mengusak rambut Raihan. Remaja itu hanya mendengus kecil dan meneruskan kegiatan makannya.
"Tanganmu gimana?" tanya Salsa, memperhatikan bahu sang adik yang kini telah bebas dari arm sling. Raihan membalas pertanyaan itu dengan menggerakkan bahunya lemah.
"Gak popo, Mbak. Tapi kata dokter belum boleh nyetir motor,"
"Yo mesti, ta. Berarti masih nebeng Fahri?" tanya Salsa lagi. Raihan mengangguk. "Jangan lupa bensin motor Fahri diisi—"
"Iyo, iyo, Mbak. Aku yo ngerti," Raihan memotong kalimat Salsa. "Kan sampeyan udah ngasih uang tambahan,"
Salsa tersenyum, lalu mengusap puncak kepala Raihan. Mereka kemudian makan dalam hening. Sesekali terdengar suara motor yang lewat jalan kecil rumah mereka. Malam Minggu seperti ini, jalan kecil rumah mereka memang masih dilalui orang-orang yang hendak bepergian untuk mengisi akhir pekan.
"Mbak?"
"Hm?"
Raihan tampak ragu untuk mengutarakan kalimat yang ingin ia ucapkan. Salsa menoleh, memandang adiknya itu dengan kening berkerut. Remaja itu masih mengunyah nasi goreng dengan ekspresi yang tak bisa Salsa gambarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Entrance No Exit
RomanceSudah bekerja untuknya hampir dua tahun, tapi baru sekarang Nanda merasakan ketertarikan pada Salsa, karyawannya yang kalem dan cekatan. Namun siapa sangka, di balik ketenangan Salsa, gadis yang delapan tahun lebih muda dari Nanda itu menyimpan bada...