Special Chapter: Cappuccino Cincau

1.4K 170 14
                                    


cw // slight mention of religion

(cerita ini tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan nyata face claim, dan bukan bermaksud untuk meremehkan kepercayaan mereka di dunia nyata)

***


Kenapa ya, semakin waktu pernikahan makin dekat, adaaaa saja orang lama yang muncul lagi di hidup kita? Yang tadinya udah fix nyebar misalnya 500 undangan, tiba=tiba harus nambah 10 lagi. Harus cetak undangan lagi, untuk jaga-jaga jangan-jangan ketemu lagi orang yang harus diberi jatah undangan itu. Dan itu tuh hitungannya juga jadi beda kalau menyangkut tambahan katering di acara nanti. Nah, salah satu yang mengalami kejadian ini—apesnya—adalah Salsa.

Salsa punya teman sebangku waktu SMA. Namanya Harum Dewinta Anggun. Orang tuanya kayaknya bertekad banget doain anaknya yang baik-baik sampai nama anaknya segitunya. Tapi nggak salah juga, karena Harum—begitu nama panggilan teman sebangku Salsa itu—tumbuh layaknya nama yang disematkan kedua orang tuanya.

Harum ini ke manapun selalu wangi. Selalu anggun. Dan wajahnya cantik. Beuh, lengkap nggak tuh. Mana duduknya di sebelah Salsa yang notabene anak 'biasa' saja. Semakin bersinar terang benderang lah Harum ini. Makanya nggak heran kalau Harum jadi idola siswa sekelas—bahkan sampai level satu sekolah, beda tipis dengan Risna yang anak rohis, Tere yang seorang model, Fika yang ketua cheerleaders, dan Widya si anak kepala sekolah.

Harum, seperti namanya pula, mengundang siapapun untuk nemplok. Mirip bunga dengan lebah. Didukung pula dengan keramahannya, siapapun semakin betah dekat dengannya. Laki-laki ataupun perempuan.

Berkebalikan dengan Harum, kehadiran Salsa malah seperti pengganggu. Walaupun Harum duduk sebangku dengan Salsa, tapi Salsa lebih sering tergusur dari tempat duduknya. Tahu-tahu ketika jam istirahat, tempat duduknya sudah diisi oleh orang lain yang asyik mengobrol dengan Harum. Atau menitipkan hadiah untuk Harum di meja Salsa karena meja Harum sudah terisi.

Semua yang kenal Harum hampir selalu suka dengannya. Nggak terkecuali Salsa. Awalnya.

Sampai suatu hari, Salsa pernah kepergok ngelihatin Mas Dewa—ketua OSIS mereka—yang sedang keliling kelas untuk mengumpulkan sumbangan kemanusiaan dari para siswa. Mas Dewa itu perfect di mata Salsa. Tubuhnya tegap (ya wajar sih, dia anak paskib juga), rankingnya nggak pernah turun dari 10 besar paralel, sigap membantu siapapun, dan cara komunikasinya juga cerdas. Sangat bisa menempatkan diri. Kapan tahu harus menggunakan gaya bahasa jenaka, kapan menggunakan pilihan kata dan intonasi bicara yang serius.

Seperti waktu itu, ketika dia berdiri di depan kelas, menyampaikan intensi pengurus OSIS untuk menggalang dana yang akan disalurkan ke korban bencana (Salsa lupa apa kejadian waktu itu), Mas Dewa bisa menggunakan mimik wajah dan kalimat yang tepat. Kalau pengurus OSIS lainnya yang bertugas, mereka lebih banyak cengar-cengir dan akhirnya seluruh teman sekelas Salsa ikut riuh tertawa. Tapi saat itu, seisi kelas senyap mendengarkan. Dan ajaibnya, jadi banyak pula yang rela merogoh uang saku mereka untuk diamalkan.

"Kamu suka ya, sama Mas Dewa?" tanya Harum tiba-tiba, ketika Mas Dewa dan Rico, pengurus OSIS lainnya, keluar dari ruang kelas mereka.

Mata Salsa membelalak mendengar pengamatan Harum. Salsa tidak perlu menjawab karena wajahnya langsung merah seperti kepiting rebus. Harus tertawa kecil melihat reaksi Salsa.

"Coba nanti pas pergantian pengurus kamu daftar deh, ikut OSIS. Katanya setelah masa peralihan pengurus tuh, pengurus lama sama pengurus baru masih sering ketemu. Siapa tahu kamu bisa PDKT," Harum menyenggol lengan Salsa, sementara gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya malu.

Entrance No ExitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang