Sebelumnya kita hanya sebatas dua orang yang saling mengenal satu sama lain, tidak lebih.
*****
Pagi ini cuaca sedikit mendukung, sinar matahari mulai terbit menyinari bumi. Sekitar pukul enam pagi, Nara beranjak dari kamarnya. Dia berjalan menuju dapur untuk menghampiri Santi yang sedang sibuk untuk menyiapkan sarapan. Sebab sehabis subuh dia mendengar kebisingan alat masak yang bersahut-sahutan, tetapi baru sekarang dia menghampiri wanita itu. Bukan apa, ada beberapa tugas yang harus dilanjutkan olehnya, karena akan dikumpulkan hari ini juga.
Saat Nara sampai di dapur. Dia melihat wanita yang merupakan Bunda dari Putra sedang sibuk dengan pekerjaannya, sehingga wanita itu tidak menyadari keberadaannya.
Kemudian dia mulai berjalan mendekat ke arah Santi untuk melihat apa yang dikerjakan sambil bilang, “Tante, boleh aku bantu?”
“Ehh, ada Nara. Enggak usah. Kamu mending duduk aja,” tolak Santi yang tetap sibuk dengan pekerjaan dan tidak menoleh sedikitpun pada Nara.
“Tapi, aku pengen bantu Tante,” balas Nara yang merasa tidak enak hati. Sebab posisinya sekarang sedang menumpang di rumah Putra. Meskipun kedua orang tua Putra tidak keberatan dengan kehadirannya.
Santi pun menoleh ke arah Nara sambil berkata,“Enggak usah ya, kamu bangunin Putra aja sana. Tante takut dia telat, soalnya ada jam pagi katanya, kamu gak ada jam pagi.”
“Aku enggak ada mata kuliah hari ini, Tan. Libur dulu dan disuruh bantu Tante katanya,” guraunya.
“Kamu ini, masih pagi-pagi suka bercanda. Tante jadi tambah senang di rumah kalau ada temannya, apalagi perempuan. Pasti lebih seru,” ujar Santi yang tampak senang disertai senyum semringahnya.
“Tante bisa aja. Aku bangunin Mas Putra dulu.” Namun gadis itu kembali bertanya sebelum meninggalkan dapur. “Tante. Ini boleh masuk ke kamarnya Mas Putra, ya?” Sebenarnya itu adalah pertanyaan yang tidak bermutu, sudah jelas tadi Santi menyuruhnya membangunkan Putra, dengan kata lain artinya dia dibolehkan.
“Boleh, tadi Tante kan sudah bilang untuk bangunkan, jadi itu boleh, Nara. Kamu ini, jadi pengen Tante jadikan anak sendiri deh,” gemas Santi karena Nara masih saja bertanya kepadanya.
Kemudian Nara pergi ke kamar Putra yang masih tertutup pintunya. Perlahan-lahan dia membuka pintu sampai akhirnya, dia berhasil masuk tanpa mengganggu pemiliknya. Selanjutnya dia berjalan mendekat ke arah Putra yang masih tertidur di dalam gelungan selimut. “Kayak lagi bangunkan suami,” gumamnya sambil tersenyum.
“Mas Putra,” panggil Nara sambil mengguncangkan bahu laki-laki itu dengan pelan agar tidak menyakitinya. Namun, tampaknya laki-laki itu tidak mendengar panggilannya.
“Mas! Bangun, udah pagi.”
“Mas Putra! Bangun.” Akhirnya, Nara menarik lengan Putra agar laki-laki itu bangun dan berhasil.
Kini Putra mengucek matanya sembari merenggangkan tubuhnya, tetapi matanya terpejam rapat. Sepertinya dia tadi malam habis bergadang mengerjakan tugas atau pekerjaan lain.
Namun, Nara masih tidak menyerah. Gadis itu berdiri di pinggiran kasur milik Putra sambil berkacak pinggang sambil berkata, “Mas Putra cepat bangun, katanya ada jam pagi.”
“Masih ngantuk, Ra.” Putra duduk di atas kasur dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, bahkan kepalanya terlihat oleng karena nyawanya masih sepenuhnya terkumpul.
Nara yang merasa jengkel melihat Putra belum juga bersiap-siap. Akhirnya dia kembali bersuara, agar laki-laki itu tidak kembali tertidur, “Enggak ada ngantuk-ngantuk lagi. Ayo bangun, Mas!” Dengan penuh semangat dia menarik lengan laki-laki itu lagi agar bisa berdiri dengan benar. Akan tetapi dia terkejut saat melihat Putra tengah telanjang dada di hadapannya. Apakah itu kebiasannya ketika tidur? Batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Mahardika
JugendliteraturTentang Nara, yang jatuh cinta pada salah satu kerabat jauhnya. Dia Putra Mahardika. Nara berani melakukan hal nekat demi dekat dengan laki-laki itu, tanpa kedua orang tuanya ketahui alasannya. Putra Mahardika, namanya. Laki-laki baik hati yang Nara...