Bukan, bukan antara kita yang tidak bisa mempertahankan bahagia untuk episode selanjutnya, melainkan sejak awal kita bukanlah kedua orang yang saling menaruh harap.
*****
Malam yang tenang terkadang menjadi salah satu tempat pulang ternyaman, itulah mengapa kebanyakan orang tidak tidur saat malam hari mereka lebih memilih untuk begadang, seperti sedang menjaga Bumi.
Seusai mengerjakan tugas, Nara menutup kembali bukunya lalu merapikannya dengan menyusunnya bersama buku lainnya. Saat ini masih bisa dibilang tidak begitu larut, karena jam di dinding masih menunjukkan pukul sembilan malam yang artinya waktu normal belum memasuki jam rawan.
Nara beranjak menuju pintu kamarnya untuk pergi ke lemari pendingin karena tenggorokannya yang kering, rasanya membutuhkan minuman dingin. Saat melewati ruang tengah, tak sengaja matanya menangkap sosok Putra yang sedang bermain ponselnya seperti lagi membalas pesan seseorang. Karena tidak ingin tahu lebih lanjut, Nara memilih melanjutkan menuju lemari pendingin.
Selesai meminum, Nara berinisiatif untuk mengajak Putra jalan-jalan besok, mengingat besok adalah hari Minggu. Dengan wajah semringah dan penuh semangat dia berjalan mendekati laki-laki itu, lalu mengatakan maksud kedatangannya.
“Mas, besok jalan-jalan yuk,” ajak Nara.
“Aku gak bisa Ra,” tolak Putra.
“Sekalia aja, terakhir deh besok nanti gak akan ngajak lagi,” kata Nara berusaha kembali.
“Enggak, kalau aku bilang gak bisa ya gak bisa, Ra,” tekan Putra dengan nada yang sedikit tinggi.
“Kenapa? Mas mau jalan sama Nayla? Iya?!”
Putra terdiam mendengar nada suara Nara yang sedikit meninggi, ini baru pertama kalinya perempuan itu seperti ini. Dan itu membuatnya terkejut. “Diam berarti iya.”
“Selamat berbahagia, terimakasih.”
Tanpa menunggu jawaban dari Putra, Nara berlalu begitu saja meninggalkan laki-laki itu sendirian dengan keterdiaman yang tidak percaya.
Semenjak dekat dengan Nayla, sikap Putra terhadap Nara mulai berubah. Sebelumnya laki-laki itu akan selalu pasang badan bila menyangkut dengan Nara, bahkan akan dengan senang hati menerima ajakan perempuan itu, tapi sekarang tidak lagi, semuanya telah berubah dan tidak ada lagi Putra yang lembut serta penuh perhatian ke Nara.
Bahkan akhir-akhir ini jarang sekali keduanya untuk hanya sekedar bertegur sapa, rasanya sangat sulit. Putra mulai membentangkan jaraknya dengan Nara, membuat Nara benar-benar kecewa pada semua sikap yang pernah diberikan oleh laki-laki itu kepadanya.
Bila tujuan akhirmu bukan aku, pergilah sejauh mungkin.
Nara menghempaskan tubuhnya ke atas kasur dengan penuh kecewa, selepas barusan dia juga mengunci pintu kamarnya, untuk saat ini dia tidak ingin di ganggu.
“Ra, buka pintunya,” kata Putra seraya menggedor pintu kamar Nara.
“Ra, dengerin mas dulu.”
“Kamu kesal ya?”
“Ra, buka pintunya mas mau bicara.”
Merasa geram dengan sikap Putra yang sangat labil, akhirnya Nara membuka suara. “Aku gak perlu sama mas, udah urus aja Nayla itu. Dan jangan bicara apapun lagi setelah ini.”
Putra mengurungkan tangannya untuk mengetuk pintu kamar perempuan itu kembali, membiarkan Nara untuk sendiri terlebih dahulu.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Mahardika
Teen FictionTentang Nara, yang jatuh cinta pada salah satu kerabat jauhnya. Dia Putra Mahardika. Nara berani melakukan hal nekat demi dekat dengan laki-laki itu, tanpa kedua orang tuanya ketahui alasannya. Putra Mahardika, namanya. Laki-laki baik hati yang Nara...