Banyak lelah yang tak terucap pada siapapun, agar tidak menerima suatu kecewa dari tak ada respon.
*****
Selamat membaca, ya🫂
Semoga suka, jangan lupa tulis di kolom komentar bab ini gimana
*****
Memasuki semester akhir tahun depan bukanlah hal yang mudah bagi Putra. Laki-laki itu harus bisa membagi waktunya untuk semua kegiatan, termasuk bekerja. Sejak semester lima Putra memulai untuk bekerja sebagai sampingan kesehariannya agar tidak terlalu memberatkan Devan. Sebab dia tidak ingin menambah beban orang tuanya, meski penghasilannya tidak seberapa.
Saat ini laki-laki itu sedang sibuk melakukan pekerjaannya ke sana kemari dengan penuh semangat, meski peluh terus menerus mengalirkan air keringat dari atas kepalanya. Dari pinggir lapangan, Nara terus memerhatikan setiap gerak-gerik laki-laki itu yang sedang sibuk bekerja. Menyaksikan kegiatan laki-laki itu memberi sentuhan pada hatinya, suasana hati yang mulanya penuh dengan gembira karena bisa menemani laki-laki itu, kini berubah sendu mengingat perjuangan hebatnya menghadapi kehidupan.
“Mas Putra, Nara tahu ini gak mudah buat Mas, tapi Nara akui kalau Mas kuat banget menghadapi semuanya,” gumamnya. Tatapan mata yang sendu sembari mengingat kejadian-kejadian masa lalu. Seketika aliran air mulai menggenang di pelupuk matanya dan siap terjun kapan pun.
Nara tidak suka ketika Putra mengabaikannya dan tidak menepati janjinya, dia akan begitu marah pada laki-laki itu. Namun, di sisi lain dia tidak ingin menambah beban pikiran laki-laki itu, karena dia tahu kalau laki-laki itu memiliki beban yang sudah cukup berat dan setiap dia marah maka akan muncul rasa bersalah karena telah bersikap demikian padanya.
Selama tinggal di rumah Putra, dia tidak pernah disakiti oleh laki-laki itu entah dari penuturannya maupun lainnya. Sebab, dia hanya terluka karena harapannya sendiri. Putra sangat menghargai keberadaannya, laki-laki itu begitu peduli dan perhatian padanya, padahal dirinya jauh lebih membutuhkan itu semua. Nara sengat berterima kasih karena telah diterima dengan baik oleh laki-laki itu.
Satu jam lebih sudah Nara duduk di pinggir lapangan sembari memainkan ponselnya sesekali, lalu beralih menatap Putra yang sedang bekerja. Mungkin memang lelah menemani seseorang yang sedang bekerja karena sangat membosankan dan tidak bisa berkegiatan, hanya duduk menunggunya selesai. Meski begitu Nara menahan rasa lelahnya menunggu, karena dia tahu bahwa lelahnya tidak seberapa dengan Putra yang sedang mati-matian melakukan kegiatan ke sana kemari sedari tadi.
“Ra! Udah capek?” tanya Putra dari tempatnya bekerja dengan sedikit berteriak.
“Enggak kok, aku masih bugar!”
Putra tersenyum menanggapi ucapan Nara sebagai jawabannya, lalu kembali melakukan pekerjaannya sebagai pengambil bola tennis. Permainan masih berlangsung tetapi tinggal beberapa menit lagi akan selesai, karena tinggal satu poin saja untuk menyelesaikan pertandingan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Mahardika
Teen FictionTentang Nara, yang jatuh cinta pada salah satu kerabat jauhnya. Dia Putra Mahardika. Nara berani melakukan hal nekat demi dekat dengan laki-laki itu, tanpa kedua orang tuanya ketahui alasannya. Putra Mahardika, namanya. Laki-laki baik hati yang Nara...