Jimin.
Duduk di tempat tidur hotel, aku memandangi jalanan Vegas sementara aku menunggu Jihan menjawab teleponnya.
Hari ini adalah hari pertama Yeorin mengantar Jihan ke sekolah dan menjemputnya. Aku gugup karenanya. Aku tidak suka memikirkan bukan aku lah yang berada di sana untuk memastikan dia masuk dan keluar gedung dengan aman.
Sekolah swasta tempat Jihan bersekolah telah memenuhi persyaratan ku tentang keselamatan Jihan menjadi salah satu alasan ku memilih sekolah itu.
Foto dirinya tidak boleh diambil. Dia tidak diizinkan berada di luar tanpa guru. Dia pasti punya seorang guru laki-laki yang bugar dan dapat menangani berbagai hal jika terjadi keadaan darurat.
Aku bahkan bertemu dengan Yoon Hyunmin, gurunya, sebelum dia hadir untuk membahas keamanannya. Aku belum memberi tahu pria itu bahwa aku adalah bagian dari Mafia, tapi aku sudah cukup merangkai rasa takut dalam kata-kataku sehingga dia sadar dengan siapa dia berhadapan jika sesuatu terjadi pada putriku.
"Hei, Ayah!" Suara gembira Jihan terdengar dari ujung telepon.
Sial, sudah lama sejak dia menjawab panggilanku seperti itu.
“Hei. Bagaimana harimu?” Jawabku sambil tersenyum.
"Luar biasa! Aku membantu bibi Yeorin membuat makan malam. Kami sedang menikmati cheese spageti and meatball. Dan kami membeli sekeranjang apel dalam perjalanan pulang dari sekolah, kami akan membuat pai apel untuk hidangan penutup."
Tentu saja Yeorin adalah alasan kebahagiaan putriku.
Aku harusnya bersyukur dia begitu bahagia. Bukan kesal dengan orang yang menyebabkan dia bahagia.
“Kedengarannya bagus. Bagaimana sekolahmu?” tanyaku, tidak ingin berbicara tentang bibinya.
Sekolah adalah zona aman. Yeorin tidak ada di sana.
Jihan terkikik. "Bagus."
Itu saja.
“Apa yang lucu?” tanyaku, penasaran apa yang membuatnya lucu.
“Yoon ssaem naksir bibi Yeorin.”
Aku mendengar Yeorin menyuruhnya diam di belakang.
Kapan Hyunmin melihat Yeorin?
Yeorin cuma harus menurunkan Jihan dan menjemputnya, demi Tuhan. Bukankah wanita itu seharusnya luput dari perhatian pria mana pun?
“Hanya karena melihatnya di antrean mobil?” tanyaku, mendesak untuk mendapatkan informasi lebih lanjut.
Aku mendengar beberapa bisikan dan lebih banyak tawa dari Jihan.
“Yoon ssaem melihat bibi Yeorin saat bibi mengantarku pagi ini,” sembur Jihan, lalu memekik.
Yeorin pasti berusaha menghentikannya memberitahuku sesuatu.
Aku meraih ponselku. Aku memasang earbud, berbicara dengan Jihan, tapi aku ingin melihat kamera di dapur.
Aku tidak menyukai ini, dan aku sangat tidak menyukai kenyataan bahwa Yeorin telah melakukan sesuatu karena dia ingin putriku merahasiakannya dariku.
Menarik aplikasi, aku mengklik kamera di dapur sehingga memenuhi layarku.
Aku sengaja tidak melihat kamera rumah sejak aku pergi karena aku tidak ingin melihat Yeorin.
Sekarang, Yeorin di sana, di dapur ku, mengenakan crop top dan celana pendek merah kecil, mengaduk panci sambil menggelengkan kepala ke arah putriku, yang jelas-jelas menahan tawa sambil memegang teleponnya, aku berharap aku tidak melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ashes
RomantizmDialah satu-satunya obsesinya. Dia akan melakukan apa pun untuk memilikinya dan dia melakukannya. Dia telah menjadi terang dalam kegelapannya. Dia telah membuatnya ingin menjadi lebih, lebih baik, berbeda. Tidak ada yang lebih penting dari dirinya...