Tara menatap punggung kecil Belvin yang menjauh sampai menghilang di balik pintu kamarnya yang ditutup.
“Makasih, Tar. Kamu pulang aja.” Adalah jawaban yang diberikan perempuan itu ketika dia bilang. “Aku di sini kalau kamu butuh sesuatu.”
Belvina Jolie.
Terhitung sudah 12 tahun Tara mengenal nama itu.
Nama yang pertama kali dia temukan di buku diary milik sang adik. Nama yang tidak pernah absen ada di setiap lembar catatan harian adiknya. Bahkan di lembar terakhir pun, di lembar terakhir sebelum adiknya tidak bisa menulis apa pun lagi di sana, nama Belvin tersemat bersama serangkaian ucapan perpisahan.
Kak Belvin terima kasih. Jika ada kehidupan selanjutnya aku harap bisa mengenal Kak Belvin lebih baik.
Satu tahun Tara mengenal perempuan itu dari jauh. Mengenal dalam diam. Tanpa dikenal balik. Tanpa berani balik memperkenalkan diri.
Satu tahun waktu yang cukup untuk melihat bagaimana keseharian Belvin berjalan. Keseharian yang selalu dia jalani seorang diri. Tanpa ada siapa pun di sampingnya. Tanpa ada seorang pun yang menemaninya. Tapi, dia terlihat baik-baik saja dengan hal itu.
Di saat orang berlomba-lomba mencari banyak teman, Belvin tampak nyaman dengan kesendiriannya. Tidak pernah terlihat ingin mencolok di saat banyak orang ingin menjadi paling bersinar di antara yang lainnya.
Setelah mengetahui fakta bahwa Belvin adalah orang pertama yang menolong adiknya dari perundungan, di bayangannya Belvin adalah sosok yang memiliki banyak orang di sekelilingnya. Sosok yang aktif, ceria, vokal terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya.
Kenyataannya berbanding terbalik.
Membuat Tara terheran-heran, kenapa orang seapatis Belvin justru menjadi orang pertama yang mengulurkan tangan kepada adiknya?
Sampai semakin lama dia mengamati Belvin, dia menyadari sesuatu. Belvin menyembunyikan kepeduliannya di balik sikap apatisnya. Dia tidak ingin terlihat peduli mungkin karena tidak mau ada orang yang memanfaatkan kepeduliannya. Selalu senang menyendiri mungkin karena tidak mau merasakan apa itu namanya ditinggalkan.
Sejatinya orang seperti itu adalah orang yang penuh dengan ketakutan.
Lalu, orang yang selalu sendiri itu tiba-tiba memiliki orang lain di sisinya. Orang yang memiliki sifat berbanding terbalik dengannya. Yang selalu mengoceh meskipun diabaikan. Yang selalu ada di belakang Belvin meskipun kehadirannya tidak dipedulikan.
Jika selalu berada di belakang Belvin maka Tara pun sudah sering melakukannya. Hanya saja dia tidak pernah berani mengambil jarak yang begitu dekat seperti yang dilakukan laki-laki itu.
Laki-laki bernama Gavin. Yang lambat laun dia melihat kehadiran laki-laki itu diterima oleh Belvin.
Gavin. Gavindra Adinata Caesar.
Hanya dengan melihat sosoknya pun, Tara tahu Gavin adalah tipe orang yang selalu menjadi pusat perhatian. Eksistensinya bagaikan magnet yang menarik orang untuk memperhatikannya. Kehadirannya tampak menyenangkan, seperti cahaya yang hadir di tengah-tengah gelap.
Mungkin, mungkin saja Belvin pun menganggapnya begitu. Gavin adalah cahayanya. Cahaya yang menuntunnya berjalan di tengah kegelapan. Jadi, wajar saja ketika laki-laki itu pergi, Belvin seolah kehilangan arah.
Untuk pertama kalinya, sosok yang terlihat tidak memiliki ketakutan itu menunjukkan wujud aslinya. Sosok yang selalu terlihat baik-baik saja dalam kesendiriannya itu terlihat begitu kesepian.
Sekarang Tara paham.
Belvin senang menyendiri bukan karena takut merasakan namanya ditinggalkan. Melainkan dia sudah terlalu paham rasanya ditinggalkan hingga terlalu muak untuk mengulang rasa yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimana Ujungnya?
Romance[Sequel Letting Go] "I'll kill you." "I love you." "I will make your life a living hell!!" "Do it! My life, everything in me is yours. Always be yours, Bel." © nousephemeral, 2024 all pictures inside, include cover © pinterest.