Part 22; Pillow Talk

767 96 7
                                    



Tubuh yang telanjang sudah berbalut pakaian.

Belvin mengenakan celana longgar panjang dengan kaus Gavin sebagai atasannya. Entah kenapa dia lebih nyaman memakai pakaian laki-laki itu untuk tidur dibanding miliknya sendiri.

Dia tengah membaca ketika Gavin kembali masuk ke dalam kamar setelah beberapa saat lalu keluar untuk menerima telepon dari kakaknya. Laki-laki itu masih bertelanjang dada dengan hanya mengenakan sweatpant yang menggantung rendah di pinggulnya.

Belvin menyimpan bukunya ketika Gavin bergabung ke ranjang setelah memakai kausnya sendiri. "Kak Geovan?"

Gavin mengangguk. "Em-hm." Mengulurkan sebelah lengan, merangkul Belvin agar lebih merapat. "Nanyain kamu juga."

Belvin menyamankan posisinya bersandar di tubuh Gavin. Dia mendongak untuk merespons, "nanyain apa?"

"Nanyain kapan kamu mau jadi pacar aku." Rupanya masih keki perihal beberapa saat lalu Belvin yang tidak menganggapnya sebagai pacar.

Teman, katanya.

Teman macam apa yang sudah melakukan hubungan suami istri?

"Tukang ngadu," celetuk Belvin.

Gavin terkekeh singkat. Menundukkan kepala sekilas untuk mencium hidung sosok dalam rangkulannya. "Kak Geovan mau nikah."

"Kapan?"

"Bulan depan," jawab Gavin. "Kebobolan."

Kening Belvin mengernyit samar, sebelum kemudian menggumamkan, "oh," mengerti. "Nikah karena ceweknya hamil?"

"Sebelum itu juga mereka emang udah bahas soal pernikahan. Cuma nggak bulan depan juga. Tapi karena masalah itu jadi dipercepat."

Belvin manggut-manggut, mengerti. "Nikahnya di sana?"

"Iya. Nanti ikut ya sama aku."

Belvin tersenyum saja sebagai jawaban. "Ceweknya Kak Geovan orang asli sana?" tanyanya kemudian.

Gavin menggeleng. "Orang sini. Sama-sama perantau kayak Kak Geo. Mereka juga udah pacaran dari SMA sih, tapi kenalnya udah dari SMP. Sebenarnya salah satu alasan Kak Geo langsung cabut ke sana setelah lulus juga karena Kak Vio. Kak Vio ngejar pendidikan di sana, jadi Kak Geo termotivasi buat ikut. Alasan Kak Geo jadi anak berprestrasi juga sebenarnya bukan karena dituntut papa-papa banget sih, tapi karena pengaruh Kak Vio juga." dia jadi bercerita. Menatap Belvin yang mendongak menyimaknya dengan seksama.

"Kamu tahu nggak? Sebenarnya waktu sekolah Kak Geo juga bandel. Cuma nggak terang-terangan kayak aku. Dia main aman supaya nggak ketahuan papa. Papa juga antara nggak tahu atau emang pura-pura nggak tahu aja. Tapi Kak Geo itu emang terjerat pergaulan bebas juga. Setelah pacaran sama Kak Vio deh dia agak mendingan. Karena kayaknya dibanding takut sama papa, Kak Geo itu lebih takut sama Kak Vio deh. Setelah mama nggak ada orang yang paling Kak Geo turuti itu katanya Kak Vio. Buktinya meskipun dia nggak suka belajar dia sampai bisa jadi anak berprestasi demi bisa sejajar sama Kak Vio. Meskipun pada dasarnya juga Kak Geo emang terlahir dengan otak cerdas sih."

Belvin memperhatikan dengan cermat bagaimana Gavin yang tampak bahagia menceritakan kakaknya. Sangat berbanding terbalik dengan dulu di mana nama kakaknya saja tidak pernah keluar dari mulutnya. Dia bahkan tidak tahu Gavin mempunyai kakak jika tidak mencari tahunya sendiri di internet.

Dan ya seperti yang dia baca dari salah satu artikel yang memuat informasi tentang kakak Gavin itu, Kak Geovan memang dikenal sebagai anak berprestasi di sekolahnya.

"Tapi Kak Vio bilang sih alasan Kak Geo jadi berprestasi karena aku. Katanya supaya papa nggak menuntut aku untuk jadi seperti yang dia inginkan. Jadi Kak Geo rela menanggung sekaligus beban yang papa kasih ke aku asalkan aku dibebaskan melakukan apa pun." Senyum Gavin terulas tipis. Pandangannya tampak menerawang, mungkin sedang bernostalgia dengan kejadian di masa lalu. "Dulu aku banyak salah pahamnya sama Kak Geo. Mungkin karena komunikasi kita juga buruk. Jadinya gitu. Bertahun-tahun aku benci sama kakakku sendiri."

Dimana Ujungnya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang