"Terserahlah. Gue emang nggak punya teman jadi nggak bakal ngerti lo yang paling banyak teman."
"Bel, Sayang, nggak gitu."
Gavin menahan tangan Belvin yang hendak berlalu dari hadapannya. "Jangan marah kayak gini dong. Oke, aku yang salah. Ya? Udah, jangan marah."
"Ngomong kayak gitu bukan karena sadar salah kan?"
"Aku emang salah kok karena terlalu ramah sama mereka."
"Kenapa terlalu ramah harus jadi sebuah kesalahan?"
Gavin mengerjap. Mungkin berpikir, sebenarnya mau Belvin itu apa?
"Aku yang salah kenapa harus marah hanya karena kamu ramah sama mereka. Aku yang salah kenapa harus tidak terima kamu mau kasih nomor ke — "
"Aku nggak bakal kasih nomor aku ke mereka, Bel."
"Kenapa? Emangnya kamu yakin bisa nolak mereka? Bukannya nggak enak ya?"
Gavin tidak menyangka sih akan mendapatkan sisi Belvin yang terkesan cemburu buta seperti ini. Sesuatu yang dulu tidak pernah terbayangkan Belvin akan cemburu.
Meskipun senang karena itu tandanya Belvin mencintainya, tapi jika seperti ini rasanya... terlalu berlebihan. Semua yang keluar dari mulutnya sepertinya akan terdengar salah di telinga perempuan itu.
"Nomor hp itu termasuk privasi. Aku nggak mungkin membagi sesuatu yang privasi kepada orang yang nggak aku kenal dekat."
"Tapi kamu dekat sama mereka. Buktinya kalian dulu katanya sering kumpul-kumpul. Iya, kan?" Belvin menaikkan sebelah alis, terkesan mengejek. "Dulu juga mereka punya nomor kamu tuh kayaknya. Jadi apanya yang nggak kenal dekat?" sambungnya sebelum Gavin sempat merespons.
"Itu kan dulu. Sekarang aku udah nggak dekat sama mereka."
"Kalau dulu pernah dekat harusnya nggak bilang nggak kenal dekat dong. Harusnya bilang udah nggak kenal dekat." Belvin melakukan penekanan pada kalimat terakhir. Seolah takut Gavin tidak paham dengan ucapannya.
"Iya, aku salah. Harusnya aku bilang udah nggak kenal dekat."
"Kenapa ngomongnya kayak kesel gitu?"
"Siapa bilang?" Gavin spontan berseru. Hanya untuk di detik selanjutnya dia sadar telah meninggikan suaranya. "Siapa yang kesel, Sayang?" sambungnya kembali melembut.
Belvin diam. Menatap Gavin lamat-lamat.
"Capek, ya?" tanyanya.
"....?"
"Kalau capek menghadapi aku yang kayak gini bilang aja."
"Nggak — "
"Jujur aja, Gavin," sela Belvin. Dari nada bicara serta ekspresinya, dia serius. Tidak menunjukkan sedang sarkas. Atau ingin membuat Gavin berada di posisi serba salah. "Jangan menyiksa diri sendiri kayak gitu."
Gavin diam.
"Aku pasti menyebalkan kan sekarang?"
Gavin masih tidak menjawab.
"Oke." Belvin tiba-tiba mengangguk. Melepaskan tangannya dari pegangan Gavin. "Silakan kalau mau kumpul-kumpul lagi sama mereka."
"Bel — "
"Aku serius," sela Belvin — lagi.
Tidak ada tanggapan dari Gavin.
Entah paham emosi Belvin sedang tidak stabil sehingga apa pun yang dia katakan sekarang tidak akan didengar perempuan itu atau mungkin benar mengakui saat ini Belvin memang menyebalkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimana Ujungnya?
Romance[Sequel Letting Go] "I'll kill you." "I love you." "I will make your life a living hell!!" "Do it! My life, everything in me is yours. Always be yours, Bel." © nousephemeral, 2024 all pictures inside, include cover © pinterest.