Part 21; Tidak Berhak Cemburu

784 74 4
                                    

 
Jika tidak ada Gavin, mungkin Belvin selamanya tidak akan pernah mau menemui ibunya. 

Sulit bagi Belvin untuk berdamai dengan masa lalu. Sakit hati akibat perlakuan ibunya dulu masih melekat kuat dalam ingatan. Masih terasa sekali nyerinya. Lukanya tidak pernah mengering sama sekali.

Tidak diinginkan. Dianggap tidak ada. Eksistensinya di dunia dianggap sebagai bencana. Oleh orangtua sendiri. Siapa yang tidak sakit hati?

Meskipun setuju untuk menemui ibunya, Belvin menolak ketika wanita yang melahirkannya itu memeluknya. 

Apa terdengar jahat?

Bagi Belvin itu belum seberapa dibanding dengan apa yang wanita itu lakukan dulu. Kenapa baru sekarang ingin memeluk? Kenapa tidak dari dulu saat dia benar-benar masih membutuhkan hangat pelukan seorang ibu?

Tidak ada sepatah kata pun yang Belvin keluarkan. Dia benar-benar bungkam ketika ibunya mencoba berbasa-basi dengannya. Suasana yang terjadi begitu canggung dan dingin. Jika tidak ada Gavin mungkin pertemuan itu hanya bertahan sampai 10 detik saja.

Tidak hiperbola. Kenyataannya pasti akan begitu. Mungkin di detik pertama wanita itu menyambutnya di depan pintu, Belvin memilih putar balik saja.

Pertemuan itu pun tak sampai 10 menit. Belvin langsung angkat bokong ketika wanita itu masuk ke topik, “maaf — ,” tidak ingin mendengarkan lebih jauh.

Sejujurnya Belvin sudah mencoba ingin bersikap biasa saja. Mencoba sedikit melupakan kejahatan ibunya dulu. Mencoba perlahan-lahan berdamai. Tetapi nyatanya, tekad tak semudah praktiknya. 

Melihat ibunya justru malah mengingatkan dia pada sikap-sikap kasar wanita itu dulu. Melihat bagaimana cara ibunya menatapnya sekarang membuat Belvin merasa… jijik. 

Kenapa harus membuat tatapan seperti itu saat dulu dengan begitu mudahnya perempuan itu selalu menatapnya dengan tatapan benci? Seolah-olah dia memang tidak layak lahir di dunia.

Selama perjalanan pulang, Belvin bungkam. Begitu pun Gavin yang sepertinya paham Belvin butuh diberi ruang untuk dirinya dan isi kepalanya yang rumit.

Setelah sampai, Belvin langsung masuk kamar, menutup pintu tanpa berbicara apa pun kepada Gavin. Sekali lagi Gavin paham, Belvin tidak ingin diganggu.

Belvin sendiri bingung dengan dirinya sendiri. Tidak paham dengan apa yang dia inginkan. Di satu sisi, dia ingin benar-benar mencoba untuk berdamai dengan luka-luka yang menyakitinya seperti yang Gavin bilang. Namun di sisi lain, dia seperti masih ingin memelihara penderitaan.

Sikap egoisnya masih menginginkan melihat ibunya tenggelam dalam jurang penuh penyesalan. Dia seperti menikmati bagaimana ibunya merana, memohon maaf darinya.

Bohong jika Belvin tidak merasa dirinya jahat. Bohong jika dia tidak iba melihat ibunya yang tampak layu seperti itu. Tapi, kembali lagi… dia pun tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Sebenarnya apa maunya?

Belvin bangun dari tidurnya ketika melihat langit hampir sudah gelap. Melihat jam, ternyata masih sore. Langit gelap ternyata karena mendung. Beranjak keluar kamar, dia tidak melihat keberadaan Gavin. 

Melihat pintu ruang kerja Gavin yang setengah terbuka, dia melangkahkan kakinya ke sana. Dan benar saja, Gavin sedang berkutat dengan pekerjaannya. 

Laki-laki itu tampak seribu kali lebih atraktif dan memesona dengan rambut gondrongnya yang diikat dan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Saking fokusnya, Gavin sampai tidak menyadari kehadiran Belvin yang memperhatikannya sembari bersandar di ambang pintu dan melipatkan tangan depan dada.

“Kamu udah makan?” tanya Belvin setelah beberapa saat diam dan selama itu pula Gavin belum menyadari kehadirannya.

Yang ditanya mengangkat kepala, tersenyum melihat kembali eksistensi sang kekasih. “Hai?” sapanya. Tampak lega. “Kenapa cuma berdiri di sana?” 

Dimana Ujungnya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang