Part 23; Cara Dia Memandangnya

595 75 10
                                    


"Senang melihat kamu lagi, Bel."

Belvin menyambut kedatangan editornya, Sekar, membalas cipika-cipikinya, lalu tersenyum saja sebagai respons.

Setelah melewatkan basa-basi singkat dan memesan makanan, Sekar mengamati Belvin, ingin mengatakan sesuatu, namun kembali diurungkan.

Belvin terlihat hidup dibanding saat pertemuan-pertemuan sebelumnya.

"Ada kabar baik?" tanya Sekar sembari mengulas senyum hangat. Seperti biasa. Selalu hangat.

"Soal buku 7 Days Before Death itu... kira-kira peminatnya masih banyak?"

"Bel, jangan tanya." Sekar menggeleng. Seakan pertanyaan Belvin begitu tidak masuk akal. "Masih, Bel. Masih banyak," tekannya. "Di base-base literasi itu sering banget aku nemu yang tanya kapan bukunya dicetak ulang. Di DM juga pasti selalu ada yang nanyain. Yang langsung DM ke sosmed kamu juga pasti banyak kan tuh. Kamu nggak baca?"

Belvin menggeleng. Dia sudah lama tidak membuka akun sosial media Belie sejak pernah membaca pesan tidak mengenakkan. Ditambah beberapa waktu ke belakang dia memang sedang tidak memiliki minat pada apa pun sampai melupakan bahwa sekarang dia mendapat title sebagai seorang penulis di mana para pembacanya mungkin menunggu kabarnya.

"Tawaran cetak ulang masih berlaku, Mbak?"

"Kenapa? Kamu setuju bukunya dicetak ulang?" tanya sang lawan bicara antusias.

Belvin mengangguk. Sepertinya tidak buruk juga. Terlebih melihat reaksi sosok di depannya, Belvin merasa... ikut bahagia. Ada kehangatan tersendiri yang diam-diam menyusup ke dalam hatinya melihat reaksi antusias yang Sekar perlihatkan. Reaksi antusias yang tercipta karena dirinya.

Jadi... dia juga bisa membuat orang lain bahagia ya?

Setelah Sekar bilang akan menghubungi lagi Belvin nanti untuk kabar-kabar selanjutnya terkait cetak ulang bukunya itu, Belvin kembali berbicara, "aku juga lagi proses menulis buku baru, Mbak."

"Oh ya?" reaksi Sekar lebih antusias lagi sekarang. "Yaampun, Bel, aku seneng banget dengernya. Serius."

"Tapi, belum pasti kapan rampungnya."

"Nggak papa, Bel. Kamu mengabarkan sedang menyiapkan tulisan baru juga aku udah senang banget dengernya. Take your time. Nggak bakal ada yang menyuruh kamu menyelesaikannya cepat-cepat. Tapi yang pasti aku, teman-teman yang lain dan pasti pembaca kamu juga akan antusias menyambut karya baru kamu."

Kalimat itu... menghangatkan.

Di titik ini Belvin merasa... ternyata masih ada ya orang lain yang peduli dengan kenyamanannya?

"Makasih, Mbak," ungkap Belvin. Tulus.

"Makasih untuk apa?"

Belvin menyesap minumannya sesaat. "... udah jadi editor aku."

Sekar terpaku untuk sesaat. Lantas di detik selanjutnya senyum hangatnya mengembang. "Kamu boleh menganggap aku lebih dari editor kok, Bel."

"...."

"Kalau kamu butuh teman, kakak, atau bahkan adik," Sekar terkekeh sesaat, "Aku mau kok," sambungnya. Tulus.

Belvin merasa emosional oleh sesuatu yang tidak dia pahami.

"Sebenarnya udah lama aku mau bilang ini, tapi takut menyinggung kamu." Sekar menjeda ucapannya sejenak, mengamati ekspresi Belvin sesaat, "kalau kamu sedang mengalami kesulitan dan butuh teman untuk cerita, aku bisa kok jadi teman cerita kamu. Tapi melihat kamu sekarang... sepertinya kamu sudah menemukan teman cerita ya?" senyum yang terulas terlihat ikut senang dengan perkembangan Belvin sekarang.

Dimana Ujungnya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang