Manusia itu seringkali lupa bersyukur.Salah satunya Belvin.
Terlalu larut dalam penderitaannya sendiri, Belvin sampai lupa ada begitu banyak orang yang hidupnya jauh lebih tidak beruntung dibanding dengan dirinya.
Banyak kemalangan yang menimpanya membuat Belvin menganggap hanya dirinya lah manusia paling malang di dunia ini. Lupa, setiap manusia mempunyai porsi malangnya sendiri-sendiri yang tidak bisa dibandingkan masalah siapa yang lebih berat atau ringan.
Semuanya punya porsi penderitaannya masing-masing. Tidak ada yang lebih berat. Tidak ada yang lebih ringan.
Belvin sadari hari ini.
Ketika Gavin mengajaknya berkunjung ke sebuah panti asuhan. Hal pertama yang Belvin rasakan ketika melihat anak-anak yang hidup tanpa keluarga di samping mereka adalah… tertampar.
Bukan hanya dia yang hidup tanpa keluarga. Dibanding dirinya yang lebih dewasa dengan kondisi finansial yang terbilang mapan, anak-anak itu jelas tidak seberuntung dirinya.
Dia tinggal di apartemen yang nyaman. Berbanding terbalik dengan mereka yang harus hidup dengan berbagi tempat bersama teman yang lainnya. Seringkali mungkin tidak nyaman ketika teman yang lainnya melakukan sesuatu yang mengganggu. Berbeda dengan dirinya yang bisa melakukan apa pun yang dia inginkan tanpa takut mengganggu orang lain.
Belvin punya banyak uang dimana dia bisa membeli makanan, barang atau pun jalan-jalan ke tempat yang diinginkan. Lagi-lagi anak-anak itu tidak bisa melakukannya. Tidak hanya anak-anak itu, jika Belvin ingin kembali membuka matanya, ada banyak orang yang tidak bisa melakukan itu semua hanya karena ingin.
Mereka harus mempertimbangkan banyak hal sebelum benar-benar melakukannya. Entah itu uang yang tidak cukup. Atau masih ada banyak kebutuhan yang lebih penting dibanding sebuah keinginan pribadi.
“Ini namanya Nayra. Umurnya baru tiga tahun.”
Belvin menatap batita yang tengah balik menatapnya dengan bola matanya yang bulat menggemaskan itu. Dia hendak menggerakkan tangannya, tergerak ingin mengusap pipinya yang gembil ketika suara ibu panti di sebelahnya membuat gerakannya terhenti.
“Ibu menemukannya di halaman.” Kepala Belvin menoleh. “Subuh-subuh… di dekat semak-semak.” Suara sang ibu pengurus panti sedikit tercekat. Sakit di tenggorokannya entah kenapa menular kepada Belvin yang ikut merasakan tenggorokannya kering. “Waktu itu langitnya masih gelap…. tapi Nayra begitu bersinar saat itu.” Senyum ibu panti terulas begitu tulus di antara bola matanya yang sedikit berkaca-kaca. “Itu sebabnya kami memberinya nama Nayra. Bersinar… berkilauan. Dengan harapan di masa depan Nayra bisa hidup secerah nama dan wajahnya yang cantik.”
Belvin mengamini itu dalam hati. Berharap Tuhan yang selama ini dia tinggalkan mendengar dan mengabulkan doa dari sosok wanita tulus di sampingnya.
Pandangan Belvin kembali menatap Nayra. Anak ini sudah dibuang orangtua sejak bayi. Barangkali sekarang Belvin harus bersyukur. Setidaknya kelahirannya dulu disyukuri oleh orangtuanya.
Tangan Belvin yang tadi berhenti kini bergerak terulur dengan sedikit canggung menyentuh tangan si bayi yang mungil. Belvin menyelipkan ujung telunjuk ke telapak tangannya yang mengepal.
Belvin membeku ketika melihat si bayi Nayra tiba-tiba tersenyum lebar sembari memegang jari telunjuknya. Kakinya bergerak-gerak seolah-olah kegirangan.
“Sepertinya Nayra suka sama Mbak Bel.” Ibu Hayati tersenyum tampak ikut senang. “Boro-boro senyum kayak gitu, Nayra malah suka nangis kalau ada orang asing yang memegangnya.”
Belvin masih terpaku.
Jika apa yang dikatakan ibu Hayati memang benar, kenapa bayi Nayra ini menyukainya? Menyukainya yang bahkan tidak bisa membalas senyum lebarnya dengan benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dimana Ujungnya?
Romance[Sequel Letting Go] "I'll kill you." "I love you." "I will make your life a living hell!!" "Do it! My life, everything in me is yours. Always be yours, Bel." © nousephemeral, 2024 all pictures inside, include cover © pinterest.