Part3

623 63 6
                                    

List selanjutnya setelah ke taman adalah timezone, Adibrata tersenyum lega karena Harchie sepertinya sudah melupakan kejadian saat di taman tadi. Adibrata tidak akan pernah ke sana lagi, itu hanya akan membuat kenangan buruk untuknya dan juga Harchie.

Sekitar tiga jam, Adibrata menemani Putra manisnya itu bermain tanpa henti. Sesekali Harchie akan menarik tangan sang Ayah agar bermain bersama, Harchie terus menjahili Ayahnya sampai suara tawanya terdengar sangat keras sangkin puasnya.

Merasa sudah lelah, Harchie memberitahukan list ketiganya. Di toko bunga, Harchie sebenarnya tidak memasukkan list tersebut untuk menghabiskan waktu pekannya. Ibu Gurunya pernah berkata, biasanya kalau orang sedih salah satu hadiah terbaik untuk menguranginya adalah sebuket bunga cantik.

Harchie pergi ke sana di temani sang Ayah, Anak itu berlarian memutari toko bunga tersebut untuk mencari bunga terbaiknya. Adibrata hanya mengikutinya di belakang, sesekali dia akan membereskan kekacauan yang diperbuat oleh Putra nakalnya itu.

"I got it, I have flowel matahali fol my Papa!"

Harchie berjongkok bak seorang pangeran di hadapan sang Ayah, tangannya terulur untuk memberikan sebuket bunga matahari yang belum dibayar. Bahkan ukurannya terlihat lebih besar dari tubuhnya yang mungil. Adibrata mematung, matanya seketika memanas.

"Ambil Papa, beal lelah berjongkok dan belat."

Pecah sudah suara tawa Adibrata, dia segera mengangkat Putranya itu kemudian memeluknya erat. Adibrata mengambil bunga itu yang wanginya sungguh semerbak. Dari mana Putranya tahu kalau bunga matahari adalah kesukaan Adibrata sejak dulu, bahkan Putranya itu sangat pandai memilih satu buket bunga matahari yang sangat indah.

"Terima kasih, bearnya Papa. Kok tau kalo Papa suka bunga matahari?"

"No, Echi tidak tahu. Hanya memilih yang menulut Echi bagus. Bentuknya sepelti matahali, Echi suka. Papa itu matahalinya Echi, telnyata nama bunga itu juga matahali? Wah, Echi benelan belahan jiwanya Papa."

"Ayo Papa, kita bayal. Bealnya Papa ngantuk. Beal mau susu." Lanjutnya kemudian, seperti memiliki dua kepribadian Anak itu kini terlihat sangat lelah tidak seperti beberapa detik yang lalu.

"Tidur aja ngga papa." Kepala bulat Harchie, Adibrata senderkan ke pundaknya.

Adibrata mengusap surai ikal sang Putra yang sudah penuh keringat. Dia kecup kening itu, kemudian berjalan ke arah kasir untuk membayarnya. Langit sudah sangat gelap, hari sudah berganti malam. Adibrata segera pulang ke rumah menggunakan mobil hitamnya, Putranya sudah tertidur nyenyak di kursi sampingnya.

Rumahnya sangat sepi, karena hanya ada Adibrata dan sang Putra di sana. Sekitar tiga puluh menitan lebih, karena jalanan juga tidak macet Adibrata sampai di rumah besarnya tersebut. Ayah muda itu bergegas masuk ke dalam sebelum Putra manisnya itu menangis.

Sesampainya di kamar, Adibrata segera membersihkan tubuhnya yang penuh keringat. Setelah itu, dia bergantian membersihkan tubuh mungil Putranya menggunakan kain dan air hangat. Dia peras kain basah itu kemudian mengelapnya di tubuh sang Putra.

"Mau susu, Papa. Beal, cucu."

Bibir Harchie sudah maju-maju, pertanda Anak itu ingin segera menghisap dot kesayangannya. Matanya masih terpejam, namun mulutnya terus merengek meminta susu. Adibrata mempercepat pergerakannya, setelah memakaikan piyama hangat untuk sang Putra baru Adibrata beranjak untuk membuat susu.

Untung di dalam tas Harchie sudah tersedia susu, yang belum tersentuh saat jalan-jalan tadi. Adibrata segera mengambilnya, kemudian menyeduhnya seperti biasa. Merasa suhunya sudah tidak panas, Adibrata langsung memasukkan nipple dot itu ke mulut sang Putra.

Endless LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang