Hujan-hujan begini, Adibrata jadi ingat dengan tragedi segelas teh panas. Alih-alih berisi gula, teh tersebut ternyata dicampur dengan garam yang katanya kebetulan wadahnya tertukar. Waktu itu Adibrata ingat sekali dengan wajah bersalahnya, pipinya bersemu merah karena menahan malu.
Adibrata tetap meminumnya, bahkan tidak menyisakannya sedikit pun. Siapa yang tidak akan terpana saat diperlakukan seperti itu, apalagi senyuman manis yang Adibrata berikan membuat pipi merah itu semakin memerah bahkan hampir ke seluruh wajah.
Cantik sekali, kira-kira itulah yang ada dibatin Adibrata kala itu. Adibrata sebenarnya membenci hujan, namun terlalu banyak kenangan indah yang sulit untuk dilupakan. Salah satunya yang tadi, Adibrata menjadi semakin terjatuh dengan sosok wanita yang pada waktu itu sudah menjadi pacarnya.
Adibrata sekalinya terperangkap, maka dia akan sangat sulit untuk keluar. Lantaran dulu itu Adibrata tidak percaya dengan yang namanya cinta. Orang tuanya saling mencintai, tapi juga saling menyakiti.
Dulu Adibrata masih kecil, di tengah malam dirinya kerap kali melihat sang Ibu menangis. Begitu pula saat sang Ayah memohon-mohon pada sang Ibu agar tidak pergi. Mereka saling menyayangi, namun nyatanya tak sepenuhnya begitu.
Kalo mereka saling mencintai, saling menyayangi, mengapa juga harus saling menyakiti?
Adibrata mencari jawabannya, dan itu yang membuat Adibrata memutuskan untuk tidak jatuh hati pada siapapun. Mungkin prinsipnya itu salah. Nyatanya saat bertemu dengan gadis cantik yang dulunya Anak kedokteran, wanita itu berhasil membuat Adibrata selalu merasa jatuh saat melihatnya berkali-kali.
"Aku yang bodoh, atau kamu yang jahat si Key?"
Mobil Adibrata berhenti karena lampu merah. Di depan sana, terlihat sepasang kekasih tengah kejar-kejaran di bawah guyuran hujan yang turun begitu deras. Melihat itu membuat Adibrata lagi-lagi mengingat masa lalunya. Adibrata juga pernah sebahagia itu dulu.
"Aku mau berhenti. Tolong bantu aku, Key. Pergi jauh-jauh dari pikiran aku. Jangan balik lagi."
Untuk mengucapkan itu saja, Adibrata merasa tak yakin bisa melakukannya. Kepalanya menggeleng keras, dia merasa sangat membuang waktu jika terus memikirkan itu.
Kalo kata Abimanyu, Adibrata itu udah bodoh tapi juga tolol.
Sudah disakiti saja tidak bisa untuk membenci, kebalikannya justru dia yang merasa harus disalahkan. Bagaimana dia akan hidup dengan tenang?
Dari merah, lampunya sudah berubah menjadi hijau. Adibrata melanjutkan perjalannya untuk menjemput Harchie. Putranya itu pasti akan sangat marah.
Padahal Adibrata sudah berusaha untuk tidak pulang sampai larut malam, namun ternyata dia tidak bisa melakukannya.Hujan sudah turun dari sore, namun belum juga mereda malah semakin deras turunnya. Jika begini, pasti Putranya tengah menangis karena tidak ada Ayahnya yang bisa dipeluk. Adibrata semakin cepat melajukan mobilnya, untung saja dia bisa selamat sampai tiba di rumah Azalea.
"Anak gue, di mana?"
Datang-datang, Adibrata langsung menerobos masuk tanpa permisi. Mikael merotasikan matanya, sudah hampir jam sepuluh namun temannya itu baru pulang. Dia berdiri sambil menggendong Putrinya yang nampak berusaha tertidur. Di sana, Adibrata tidak melihat keberadaan Putranya.
"Lo pulang aja sana. Ngga guna pulang jam segini. Gue ngga bakal biarin lo bawa Echi, apalagi lagi hujan deras kaya gini. Mikir, Dib. Jangan jadi egois terus, Echi cuma punya lo."
"Anak lo terus-terusan nangis. Bahkan belum mau makan sampe sekarang."
"Gue tanya sama lo, lebih penting mana pekerjaan lo itu sama Anak lo. Ngga satu dua kali lo kaya gini, Dib. Gue muak, gue ngga mau Anak yang udah gua anggap Putra gue sendiri jadi hancur gara-gara Papanya. Kalo lo ngga becus jaga dia, biarin gua sama Ajel yang ngurus. Urusin aja perusahaan ngga berguna lo itu."