Kisah romansa yang pernah Adibrata baca ternyata tidak jauh berbeda dengan Azalea dan Mikael. Sungguh, Adibrata sangat iri dengan mereka. Terkadang Adibrata ingin memulai lagi, mereka menyuruh Adibrata untuk membuka hati kembali. Mudah katanya, namun Adibrata tidak pernah bisa melakukannya.
Kalau bisa diputar kembali, atau setidaknya Doraemon berkenan meminjamkan alatnya. Mungkin Adibrata ingin kembali di masa awal perkuliahan, dia merasa jiwanya bahagia setelah bertemu dengan keenam sahabatnya. Adibrata tidak berbohong, karena rumah sebenarnya juga sudah setengah hancur.
Harchie berdiri di tengah-tengah pintu, tangannya memegang segelas teh hangat yang sudah dia buat sepenuh hati. Akhir-akhir ini, Ayahnya itu sering melamun. Tak satu dua kali Harchie merasa diabaikan, bahkan sangat dipaksa untuk melakukan semuanya sendiri.
Harchie sangat sedih, Anak kecil itu sering menangis sendirian. Harchie juga seperti Anak-anak lainnya yang selalu ingin dimanja dan ditemani. Harchie takut sendirian, namun semua manusia di bumi ini tidak ada yang mengerti. Harchie memang terlihat dewasa, Anak itu jarang sekali menangis. Itu bukan karena Harchie kuat, Harchie tidak sekuat itu.
Tadi pagi, Harchie bangun sendiri. Semua kegiatan yang biasanya dilakukan oleh sang Ayah, Harchie melakukannya sendiri. Harchie bahkan tidak berangkat ke sekolah, siapa juga yang mau mengantar kalau Ayahnya saja selalu berdiam diri dan menatap kosong ke depan. Harchie seperti dilupakan keberadaannya, di rumah besarnya Harchie tidak ada siapapun lagi.
"P-papa......" Panggilnya pelan.
Harchie masih takut, kemarin dia dibentak untuk pertama kalinya oleh Papa tersayangnya itu. Entah mengapa, namun itu berhasil membuat Harchie menangis dan hatinya seperti ditusuk-tusuk sesuatu. Harchie tidak punya siapapun lagi kalau bukan sang Ayah. Dunianya boleh jahat, tapi kalau sang Ayah, Harchie harus bagaimana?
Kaki kecilnya mulai mendekat, di depan sana sang Ayah masih berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Sebenarnya Harchie ingin tidur di sampingnya semalam, namun Harchie terlalu takut untuk mendekat. Dia lebih baik ketakutan karena setan, daripada penyebabnya adalah Ayahnya sendiri.
Harchie meletakkan gelas itu di meja, dia berjalan menunduk untuk mendekat. Tangannya sudah gemetar lebih dulu sebelum menyentuh pipi hangat sang Ayah. Harchie tidak tahu penyebab Ayahnya itu berubah, bahkan Harchie tidak pernah membayangkannya. Harchie harus apa sekarang?
"Papa, E-echi sudah buat teh untuk Papa."
"Eum, Echi lapal." Tambahnya lagi. Itu juga Harchie sangat ketakutan mengatakannya, dia takut dibentak.
Melihat sang Ayah yang bangun, Harchie segera berjalan mundur. Punggungnya bergetar kecil melihat Ayahnya itu berjalan keluar. Tidak ada sapaan, atau bahkan pelukan. Harchie salah apa sebenarnya, kenapa harus dihukum seberat itu.
"E-echi nakal?"
"Kenapa Papa belubah?"
"Tuhan, jangan ambil Papa Echi. Echi sendilian. Echi mau Papa."
Isakannya terus keluar, hati Harchie benar-benar sakit sekarang. Tidak mau sang Ayah semakin marah, Harchie berusaha untuk berhenti menangis. Mana ada Anak kecil seperti itu? Pantas saja Mamanya Brian sangat marah. Harchie dipaksa dewasa sebelum umurnya, Anak kecil yang sangat imut itu seperti didorong untuk terus naik ke tangga. Padahal harusnya Harchie masih di tangga ketiga.
Matanya masih memerah, namun Harchie berlari cepat untuk menyusul sang Ayah. Di sana Ayahnya itu tengah memasak sesuatu, Harchie tersenyum kecil melihatnya. Tubuh kecilnya berusaha naik ke kursi, sambil menatap punggung lebar sang Ayah yang nampak mahir memasak.
Saat berbalik, Harchie melambaikan tangannya sambil tersenyum. Dia kira Ayahnya itu akan menemaninya makan, ternyata sang Ayah hanya memberikannya sepiring nasi goreng lalu pergi begitu saja. Harchie langsung mengejarnya, dia tarik tangan besar Ayahnya itu agar berhenti.
![](https://img.wattpad.com/cover/360762468-288-k713407.jpg)