Harchie tiba-tiba terbangun, Anak itu melamun sambil menatap sang Ayah yang masih tertidur. Harchie seperti melupakan sesuatu, dahinya mengernyit berusaha untuk mengingatnya. Kamarnya masih gelap hanya ada lampu tidur di nakas yang menyala, itu berarti masih terlalu pagi untuk Harchie bangun.
Biasanya Anak itu baru bangun saat sang Ayah sudah siap dengan pakaian kantornya. Namun kali ini tidak, ucapan Gurunya tiba-tiba terlintas di kepala bulat Harchie, sontak membuat Anak itu duduk dan mulai membangunkan sang Ayah.
"Papa, Echi disuluh bawa kacang hijau sama Ibu gulu. Echi lupa bilang. Gimana ini Papa?"
Harchie yang panik pun mulai menangis. Adibrata langsung bangun, untungnya Adibrata sangat peka dengan suara tangisan Harchie. Dengan tergesa, Adibtara menggendong Putranya itu untuk ditenangkan. Bukan hanya terkejut, Adibrata juga merasa panik.
"Kenapa? Echi sakit?"
"Papa udah bilang, jangan banyak-banyak makan es krimnya—"
"Papa diam! Es klimnya tidak salah." Sentaknya dengan kesal.
"Oke-oke, Papa minta maaf. Terus kenapa? Coba bilang sama Papa."
Adibrata salah beramsumsi ternyata, itu membuat dia merasa sangat lega. Kalau sakit, Putranya itu tidak mungkin berteriak seperti tadi. Jadi alasannya bukan karena tidak enak badan, namun hal lain.
"E-echi lupa pesan Ibu gulu, itu semua gala-gala Papa! Kenapa Papa tidak beltanya pada Echi, ada pl atau tidak." Ucap Harchie masih dengan tangisannya, suaranya sudah sangat parau.
Meski kesal, Harchie tidak berani menatap sang Ayah. Dia menyembunyikan wajahnya itu, di pundak sang Ayah. Harchie merasa dirinya tidak pernah salah, itu prinsipnya yang benar-benar keliru. Jadi kalau bukan sang Ayah, Harchie akan menyalahkan sesuatu di sekitarnya.
"Ibu gulu suluh bawa kacang hijau, dan apa gitu Echi lupa. Bagaimana ini Papa, kalo tidak membawa nanti Echi dimalahin. Papa ayo bantu Echi mengingat." Kali ini Harchie berusaha menatap mata sang Ayah.
Bukan satu dua kali Harchie melupakan tugas sekolahnya, dan bukan kali ini saja Adibrata disalahkan oleh Putranya itu. Adibrata melihat jam yang ada di nakas, masih pukul setengah enam pagi. Adibrata mengambil ponselnya, dia akan menelpon gurunya Harchie itu untuk bertanya.
"Papa malah dengan Echi? Kenapa tidak menjawab?" Setelah itu, tangisannya semakin kencang.
Adibrata menggeleng kemudian tersenyum.
"Papa tidak marah. Papa mau menelpon Ibu gurunya Echi untuk bertanya. Padahal kemarin Papa sudah bertanya dengan Echi, apa Echi ada pr atau tidak. Kata Echi tidak ada, makanya Papa diam."
"Tidak baik untuk menyalahkan orang lain. Kalau Echi salah, akuin itu dan minta maaf. Jangan pernah takut untuk meminta maaf. Echi 'kan hebat, Putranya Papa tidak boleh seperti itu. Paham, bear?"
Harchie mangangguk paham, sangkin paniknya dia sampai menyalahkan Ayahnya. Padahal kesalahan itu ada pada diri Harchie sendiri. Harchie kembali memeluk sang Ayah, tangisannya sedikit mereda. Apalagi solusi Ayahnya tadi sangatlah benar.
"Echi bad, i'm so solly Papa. Echi pelupa, tapi malah menyalahkan Papa. Itu tidak baik, Echi tidak boleh sepelti itu."
"Papa maafkan." Adibrata mengecup kening Harchie. Kemudian segera menelpon gurunya Harchie untuk menyelesaikan permasalahan pagi ini.
"Ibu gulu belkata apa, Papa?" Tanyanya setelah sang Ayah selesai menelpon.
"Echi disuruh membawa kacang hijau, kapas, dan gelas plastik. Kita beli sekalian berangkat saja. Now, Echi harus bersiap supaya kita tidak terlambat. Okay?"
