50% x 30 + ³√125 | Versi Berbeda

13 1 0
                                    

Suasana ruang makan Arkan tetap sehening biasanya tanpa suara. Hal tersebut tentu membuat cowok itu ingin segera menghabiskan makanannya dan pergi secepatnya. Jika bukan karena terpaksa menuruti permohonan super melas dari kakaknya, Arkan tidak akan pernah sudi bergabung.

Dina menjadi pihak yang menyatukan mereka di satu meja masih membisu, masih terlena dengan pikirannya sendiri. Saat yang lain sibuk dengan makanannya, Dina justru sibuk memainkan tangannya di bawah meja dengan cemas.

Ia tidak tahu sudah sejauh apa mereka menjadi asing satu sama lain, hingga rasa gugup menyerangnya saat hendak memulai pembicaraan. Keluarganya tidak sehangat terakhir kali mereka berkumpul sebelum ia pergi. Jantungnya berdetak tidak karuan dengan pikiran praduga yang kemana-mana dan menyeramkan.

Dina menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan.

"Lusa pertandingan basket Arkan. Datanglah dan dukung dia seperti orang tua siswa lain mendukung anaknya."

Meski berhasil mengatakannya dengan lancar, tapi perasaan cemas masih memenuhi relung hatinya.

Arkan kontan mengembuskan napas jengah. Jika ia tahu kakaknya mengajak makan bersama hanya untuk membahas tentang pertandingan basketnya, Arkan benar-benar tidak akan mau gabung. Sekalipun kakaknya nangis darah.

"Papa rasa jawaban Papa waktu itu cukup jelas. Kami tidak punya waktu untuk menonton pertandingan tidak jelas itu."

Apa katanya? Tidak jelas?

Arkan tersenyum miris. Ironis. Sudah seremeh itukah hobinya di mata sang papa?

Dina melirik adiknya takut-takut. Sejauh ini Arkan masih belum bereaksi apa pun. Wajahnya juga tidak menggambarkan seakan ia terganggu dengan pernyataan tersebut.

"Basket bukan pertandingan tidak jelas, Pa. Basket punya peraturan permainan yang jelas. Tidak main-main seperti yang Papa pikirkan." Perasaan cemas Dina berganti dengan kesal.

"Tapi tetap pertandingan itu tidak akan bisa mengenyahkan fakta kalau dia bodoh."

Arkan sontak menurunkan tangannya di bawah meja lalu mengepal kuat. Dadanya mulai bergemuruh, siap meledakkan emosi kapan saja. Hal yang membuat dirinya semakin marah adalah ketika ia tidak menemukan ekspresi bersalah sedikit pun dari papanya bahkan setelah menghina secara terang-terangan.

"Enteng banget ya kalian ngatain anak sendiri kayak gitu. Atau jangan-jangan saat Dina ada di luar negeri, ini yang kalian lakukan ke Arkan? Kalian tahu kan kalau omongan itu adalah doa? Kalian lupa apa gimana, sih?" Dina menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. "Gimana kalau sebenarnya kesulitan Arkan untuk menangkap materi mata pelajaran adalah buah dari omongan kalian? Bukan karena dia memang tidak bisa?"

Dina melayangkan kalimat itu tepat sasaran. Karena setelahnya, Papa dan Mama tampak berpikir sejenak.

"Udahlah, Kak. Enggak ada gunanya juga lo kayak gini. Mereka enggak akan berubah pikiran dan sadar sama apa yang mereka lakukan. Kayaknya mereka bahkan udah menganggap putranya enggak ada sejak lama. Gue juga enggak akan maafin lo meski lo udah berani bertindak sejauh ini. Semua ini tetap sia-sia."

Memang terdengar tenang, tapi sejatinya Arkan menahan rasa sakit yang menghunjamnya ketika mengatakan semua itu. Ia merasa prihatin dengan keadaan keluarganya yang sangat berantakan.

Something Called HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang