√100 + √400 + √49 | Hancur Lebur

29 2 0
                                    

Ada harapan yang menguar di antara langit rumah sakit. Sebuah pengharapan yang tak pernah Arkan inginkan lagi seumur hidup, tapi harus ia lakukan hari ini. Detik ini adalah proses de javu kejadian yang pernah hadir dalam hidupnya dulu.

Ia tidak pernah menyangka bahwa situasi seperti ini akan hadir dalam hidupnya kembali, dengan tokoh yang sama pula. Kejadiannya memang sudah bertahun-tahun lalu, tepat setelah ia melihat Nesya berdarah-darah karena ketahuan bermain piano. Namun kenangannya tentu saja belum menghilang. Ketakutan di setiap detiknya masih menghantui cukup pekat. Ia takut ditinggalkan. Ia tidak mau kehilangan siapapun.

"Den Arkan pulang dulu aja. Bersih-bersih, istirahat, dan makan. Biar Bibi yang gantian jagain Non Nesya"

Bibi meletakkan tasnya di sofa lalu mendekat ke arah Arkan. Ia menepuk bahu Arkan hingga cowok itu mau menoleh. Kondisi Arkan jauh dari kata baik-baik saja. Sorot matanya terlihat meredup dengan kantong mata yang menebal di bawahnya. Rambutnya acak-acakan. Ada perban yang turut melilit buku-buku tangannya.

"Kapan Nesya siuman, Bi? Kenapa dia betah banget tidur?"

Terhitung satu hari sejak operasi Nesya dinyatakan berhasil dan sejak itu pula Arkan terjaga di samping brankar. Selain karena matanya tidak mau terpejam, ia juga takut terjadi apa-apa pada Nesya ketika dirinya tidur. Ia ingin tetap siaga dan memastikan bedside monitor yang terhubung dengan tubuh Nesya tidak menunjukkan garis lurus. Ia berdoa siang dan malam secara habis-habisan agar Tuhan menyelamatkan cewek itu.

"Non Nesya pasti bakal baik-baik aja, Den. Percaya deh, kan Non Nesya anak yang kuat. Sebentar lagi pasti siuman." Kali ini Bibi mengusap bahu Arkan pelan, mencoba memberikan kekuatan untuk menunggu sebentar lagi.

Tak lama berikutnya muncul Dewa bersamaan dengan Salsa dan Satya. Fokus pertama mereka saat masuk tentu saja Nesya yang belum menunjukkan tanda-tanda siuman, lalu beralih ke Arkan.

"Lo udah kayak mayat hidup aja, Ar," kata Dewa. "Jangan bilang lo enggak tidur?"

Tidak ada tanda-tanda jawaban dari Arkan, Salsa pun mendekat.

"Aku bawa baju ganti sama makanan buat kamu. Ar, kamu boleh sedih, tapi tolong jangan kayak gini. Pikirkan kesehatanmu juga. Kan enggak lucu kalau kamu tiba-tiba ikutan sakit. Kasihan Kak Dina kalau harus ngurus kalian berdua." Salsa nyerocos sambil mengulurkan tas di kedua tangannya. Tangan kanan membawa tas berisi makanan dan tangan kiri menenteng tas berisi pakaian.

"Lo ngaca enggak sih, Ar? Penampilan lo udah kayak zombie."

"Benar kata Salsa. Mending lo istirahat dulu deh. Tenang, ada kita bertiga yang jagain Nesya," timpal Dewa. Sebenci-bencinya ia dengan Arkan, tetap saja faktanya cowok itu berharga untuk Salsa dan Nesya. Jadi ia juga tidak mau sesuatu yang buruk menimpa Arkan.

Arkan hendak menolak, tapi suara lirih dari posisi Nesya berhasil menyedot atensi empat orang lainnya.

"Ar..."

Awalnya mereka bahagia saat mengetahui Nesya berhasil melewati masa kritisnya, tapi jantung mereka mendadak terasa ditikam ketika satu kalimat yang tidak pernah diduga keluar dari bibir cewek itu.

"Oh aku selamat."

Keempatnya serempak memaku di tempat beberapa detik. Hal yang lebih mengerikan adalah adanya ekspresi kecewa yang kentara di wajah cewek itu usai melepaskan masker oksigen.

Dewa yang tidak mau atmosfer menyedihkan itu berlangsung lama memutuskan untuk memanggil tim medis agar memeriksa kondisi Nesya.

*

Sudah setengah jam berlalu, tapi Arkan masih belum selesai dengan sesi mengomelnya. Ia juga dengan detail menceritakan kesehariannya sejak Nesya masuk rumah sakit. Cowok itu benar-benar mengungkapkan segalanya karena posisinya sekarang mereka hanya berdua. Dewa, Satya, dan Salsa langsung pergi karena masih ada urusan di luar, sedangkan Bibi masih ke toilet karena sakit perut.

Something Called HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang