160 : 2 : 2 | Garda Terdepan

9 1 0
                                    

Suasana hening melingkup di antara Dewa dan Arkan yang saat ini duduk berhadapan berjarak meja bundar di ruang tamu. Perbincangan mereka tadi berakhir dengan kalimat Arkan yang meminta izin untuk berangkat bersama Salsa ke sekolah.

Arkan tampak canggung, juga merasa serba salah. Keberaniannya selalu menciut setiap kali berada di hadapan Dewa. Entah karena perasaan bersalah yang belum kunjung tuntas atau memang karena Dewa di sini sebagai kakak dari pacarnya. Hal itu yang membuat Arkan sedari tadi hanya diam mengamati sekeliling ruangan, tanpa punya keberanian untuk membuka ponsel, takutnya Dewa menganggapnya tidak sopan. Besar harapannya agar Salsa cepat turun dan mengajaknya pergi dari situasi tersebut. 

Berbeda dengan Arkan, Dewa justru terlihat lebih santai. Sejak memilih untuk memberi restu, ia juga memutuskan untuk melupakan dan mengikhlaskan apa yang terjadi di masa lalu. Mulai dari hari ia mengizinkan adiknya pacaran, ia berusaha keras memandang Arkan hanya sebagai pacar adiknya, bukan tersangka kasus kecelakaan yang menimpanya dan Yesna beberapa tahun lalu.

"Ar." Setelah hening beberapa menit, itulah kata pertama yang Dewa ucapkan.

Arkan sontak memusatkan atensi sepenuhnya pada Dewa. "Iya, Kak?"

Dewa tampak melirik ke arah anak tangga sebelum memaparkan maksudnya. "Gue denger kalau temen lo ada yang kecelakaan. Itu bener?"

Arkan mengangguk. "Kakak kenal Bagas?"

"Nesya yang ngasih tahu."

Arkan mengerutkan dahinya sebentar. "Kakak berarti tahu soal teror itu?"

Dewa mengangguk pelan.

Arkan menelan kecewa sekali lagi. Jadi selama ini memang hanya dirinya yang tidak tahu mengenai teror itu? Bahkan jika dikalkulasi, persahabatannya dengan Nesya lebih lama dibandingkan perkenalan Nesya dan Dewa.

Sadar jika hal tersebut membuat Arkan kecewa, Dewa langsung meluruskan sesuatu. "Kalau ada orang yang mementingkan kebahagiaan lo dibanding kebahagiaan dirinya sendiri, lo harus tahu kalau Nesya ada di barisan terdepan untuk itu. Dia enggak pernah mau nambah beban pikiran lo. Apalagi kalau enggak salah waktu itu lo juga ada turnamen basket. Dia enggak mau konsentrasi lo terpecah belah."

"Tapi setelah itu harusnya dia punya banyak waktu buat ngasih tahu, Kak."

"Atau malah lo yang enggak ngasih waktu buat dia."

Arkan langsung bungkam. Ucapan Dewa cukup masuk akal, mengingat waktu yang ia miliki bersama Nesya memang tidak seintens dan sebanyak sebelum ia pacaran.

Kali ini Dewa memusatkan atensi sepenuhnya pada Arkan. Wajahnya tampak serius untuk mengucapkan kalimat, "Ar, gue udah berusaha keras buat memaafkan lo atas kejadian Yesna. Tapi kalau lo sampai buat satu kesalahan lagi dengan nyakitin Salsa, Nesya, atau malah kedua-duanya, gue enggak akan tinggal diam dan jangan pernah berharap lagi gue ngasih maaf ke lo."

Arkan paham ketika Dewa mengkhawatirkan Salsa karena mereka memiliki hubungan darah, tapi Nesya? Ada hubungan apa Dewa dengan Nesya?

Arkan ingin bertanya, tapi bibirnya justru terkunci rapat, jelas karena nyalinya terlalu ciut untuk sekadar memastikan hubungan Dewa dengan sahabatnya.

"Kok kayaknya tegang banget. Pada bahas apa sih?"

Salsa yang sudah siap dengan seragam lengkap berdiri di samping Arkan, menaikkan sebelah alisnya, mencoba mencari jawaban dari sang kakak.

"Urusan cowok. Dilarang kepo." Dewa berdiri dari tempat duduknya lalu menyentil hidung Salsa.

Sementara Salsa sontak mendengus kesal.

Something Called HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang