Terhitung satu minggu Nesya dan Satya menjadi lebih dekat. Dalam kurun waktu itu pula, Nesya mendapatkan banyak sekali pertanyaan dari teman-temannya mengenai status keduanya, entah saat kerja kelompok di kelas, sendirian di kantin, maupun membaca buku di perpustakaan. Meski Nesya selalu menjawab bahwa keduanya hanya berteman, tapi siapa yang akan percaya?
Satya Devanka si pangeran beku SMA Harapan Bangsa tersenyum dan tertawa bersama Nesya, apa itu bukan sesuatu yang spesial?
Kedekatan mereka juga semakin menjadi perbincangan kala teman-temannya sadar kalau Arkan dan Nesya tidak lagi sedekat dulu. Bahkan dalam seminggu lebih mereka tidak terlihat melakukan interaksi apa pun.
Salah satu dari temannya yang gabut serta penasaran dengan hubungan Satya dan Nesya adalah Shilla.
"Kalau lo enggak suka dia, berarti dia yang suka lo, Sya," ucap Shilla sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.
Nesya sudah berkuping tebal jadi hal-hal seperti itu tidak akan mempengaruhinya. "Makanya jangan kebanyakan nonton drakor. Kan jadi halu."
Tak lama setelah percakapan mereka selesai, Satya datang. Kali ini cowok itu memilih untuk menghampiri Nesya ke dalam kelas dibandingkan menunggu di luar seperti biasanya.
"Yuk."
Pada posisi seperti ini, Shilla benar-benar memasang tatapan elang untuk mengamati gerak-gerik Satya. Ia ingin menyaksikan sendiri bagaimana seorang Satya memasang wajah ramah saat di depan Nesya.
"Kan bener. Sumpah. Fix. Enggak bohong. Ini mah seratus persen Satya suka sama Nesya." Shilla berteriak heboh. "Anjas manis banget senyum lo, Sat."
Satya hanya menaikkan sebelah alisnya saat menanggapi kalimat Shilla yang demikian, sementara Nesya tersenyum jahil lalu menepuk dua kali bahu kiri Shilla dengan pelan. "Daripada lo mikir yang aneh-aneh, mending urusin tuh hubungan lo sama Bagas yang gantung kayak cucian baju di belakang rumah gue."
Keduanya pergi serempak, meninggalkan Shilla yang masih percaya seratus persen bahwa Satya pasti suka kepada sahabatnya.
"Mau pergi ke suatu tempat dulu sebelum pulang?" tawar Satya.
"Boleh."
"Pengen kemana?"
"Kemana aja, yang penting bukan ke jurang."
"Gue enggak mau ngajak mati kali."
Nesya sontak tertawa kecil. Terlepas dari spekulasi aneh yang melibatkan mereka, tapi Nesya diam-diam setuju bahwa ada banyak perubahan dari sikap Satya. Akhir-akhir ini Satya lebih banyak senyum. Ucapan cowok itu juga lebih soft dibandingkan sebelumnya. Seakan-akan Satya yang ada di sampingnya saat ini adalah versi baru cowok itu yang lebih baik dan lebih mampu menghargai orang lain.
Nesya memasang seatbelt usai duduk di kursi penumpang. Setelah itu, ia tampak mengotak-atik radio mobil, mencari siaran yang tengah berlangsung.
Perjalanan keduanya pun diisi lagu yang diputar oleh penyiar radio. Beberapa di antaranya berpadu dengan suara Nesya, yang sesekali ikut bernyanyi. Cewek itu sama sekali tidak mengeluh dengan kemacetan ataupun perjalanan panjang yang harus mereka tempuh ke tempat tujuan. Nesya tampak percaya-percaya saja dengan Satya, padahal ia tidak tahu kemana mereka akan pergi.
"Lagu apa yang lo suka?" tanya Satya ketika Nesya hanya diam saja menatap keluar jendela.
"Banyak."
"Contohnya?"
"Random sih. Gue suka dengerin band-band Indonesia kayak ungu, wali, peterpen, padi, ada band, dan masih banyak lagi." Nesya tampak berpikir lagu apa lagi yang dirinya suka. "Gue juga suka lagu fun nya boyband dan girlband Indonesia era 2010-2016. Beberapa lagu barat dari Taylor Swift dan Ed Sheeran. Terus sekarang mulai suka sama lagu kpop. Pokoknya asal lagunya bagus dan punya arti yang bagus gue suka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Called Hope
Teen Fiction[TEENFICTION] [16+] "Kenapa lo melakukan semua ini?" tanya Nesya penuh emosi. Seseorang itu mencondongkan badan lebih dekat dengan Nesya, lalu tersenyum puas. "Karena gue pengen menghancurkan hidup lo dan berharap lo enggak pernah bahagia." "Sialny...