56. Kampanye berkedok Pengajian

6 0 0
                                    

Ketika aku pertama kali bergabung dengan perkumpulan atau pengajian, harapanku sederhana: mendapatkan relasi dan teman sejalan dalam beribadah serta berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Namun, tak lama setelah bergabung, aku mulai menyadari sesuatu yang tak terduga. Di balik kedamaian dan spiritualitas yang seharusnya menjadi fokus utama, ternyata terdapat keterkaitan dengan politik yang membuatku semakin enggan terlibat.

Setiap pengajian yang kuhadiri, entah itu di masjid, musala, atau di rumah seseorang, selalu diiringi oleh suasana yang terasa berat karena bau politik yang menyelimuti. Ustadz atau mentorku yang seharusnya menjadi penuntun rohaniah, ternyata terikat oleh ikatan politik. Bumbu-bumbu politik diselipkan dalam setiap ceramah atau nasihat, membuatku kehilangan fokus pada esensi ibadah itu sendiri.

Aku bukanlah seseorang yang anti-politik, namun saat agama dicampuradukkan dengan politik, aku menjadi skeptis. Sementara mereka mungkin memiliki motivasi yang baik, penyampaian yang kuno dan seringkali menjurus kepada ajakan memilih pemimpin tertentu membuatku merasa terpinggirkan. Aku, yang seharusnya merasa di rumah di dalam lingkungan pengajian, malah merasa semakin jauh dari esensi kebaikan yang seharusnya diperjuangkan.

Apa motivasi sebenarnya dari mereka yang merekrut orang-orang sepertiku? Aku tak tahu jawabannya, namun kesan yang mereka tinggalkan begitu kuat. Seiring berjalannya waktu, trauma pun mulai menyelubungi pengalaman beribadahku. Pengajian seharusnya menjadi wadah untuk belajar agama tanpa campur tangan politik yang seringkali membuat suasana terasa kurang suci.

Aku masih mencari-cari pengajian yang murni, tempat di mana agama diajarkan dengan tulus dan tanpa embel-embel politik. Apakah itu terlalu sulit untuk ditemukan di tengah maraknya politisasi agama? Mungkin memang, namun aku bersikeras untuk tidak menyerah.

Politik tentu memiliki peran penting dalam menjalankan tatanan sosial, namun ketika agama dijadikan alat untuk kepentingan politik, maka seharusnya kita perlu bersikap kritis. Bagaimana kita bisa meraih kebaikan dan kedamaian bila setiap langkah kita diiringi oleh ketegangan politik?

Kini, pengajian bukan hanya tempat untuk merenungkan makna ibadah, tetapi juga menjadi medan pertempuran antara berbagai golongan politik. Aku yakin, somewhere out there, masih ada tempat yang murni, tempat di mana agama diajarkan tanpa embel-embel politik yang membingungkan.

Sementara itu, aku terus mencari, terus berusaha menemukan tempat yang sesuai dengan keyakinanku. Aku belum menyerah untuk menemukan pengajian yang benar-benar memberikan ruang bagi pembelajaran agama tanpa diseret-seret oleh kepentingan politik. Bagiku, kebaikan seharusnya tak perlu dicampuradukkan dengan dinamika politik yang kerap kali memecah-belah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Unpopular OpinionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang