01: Maeve Fletcher

557 35 0
                                    

Tak ada hal yang paling dibenci oleh pasukan pengintai selain pulang membawa kegagalan dan berita kematian.

Erwin Smith, komandan pasukan pengintai, seharusnya sudah terbiasa menghadapi sorot penuh air mata dari keluarga prajuritnya yang tidak pulang. Tetapi setiap kali hal itu terjadi, rasanya seperti ia dikuliti hidup-hidup oleh air mata keluarga prajuritnya. Rasanya seperti ditusuk ribuan belati setiap kali mereka bertanya, "Di mana anakku, Erwin?"

"Paman!"

Suara anak kecil yang begitu ceria terdengar di tengah kerumunan warga. Erwin mengenal gadis itu, dia anak prajuritnya. Pasangan legendaris di pasukan pengintai, Colton Fletcher dan Blanca Fletcher. Mereka adalah salah satu prajurit paling berbakat di pasukan pengintai. Keahlian mereka dalam berperang membuat Erwin selalu mengandalkan Colton dan Blanca di barisan terdepan, menghabisi titan yang mengancam ekspedisi pasukan pengintai. Hubungan mereka pun menjadi dekat sampai Maeve Fletcher, anak mereka, memanggil Erwin dengan sebutan "paman".

Namun dalam ekspedisi ke-50 ini, ada hal yang berbeda.

"Levi," bisik Erwin kepada Levi yang berkuda di sampingnya. "Kau menyimpan badge mereka bukan?"

Levi meraba saku celananya, mengeluarkan dua badge pasukan pengintai dan menyerahkannya ke Erwin tanpa berbicara. Erwin menghentikan langkah kudanya lalu turun menghampiri Maeve yang melambaikan tangan dengan antusias.

"Paman Erwin! Di mana ayah dan ibuku? Mereka di barisan belakang ya?"

Erwin tersenyum kecil. Ia meraih tangan kecil Maeve yang berusia 12 tahun, membuka telapak tangannya. Maeve sempat kebingungan melihat tingkah Erwin, tetapi ketika dua badge pasukan pengintai berada di tangannya, senyum di wajah Maeve langsung memudar.

"Paman?"

"Ayah dan ibumu penyelamat umat manusia." Erwin berkata pelan. "Mereka sangat mencintai satu sama lain hingga pergi bersama-sama. Kau tak perlu khawatir lagi, Maeve."

Dua mata bulat Maeve bergetar tak percaya. Pelupuk matanya basah oleh air mata. "Ayah dan ibuku... tidak selamat?"

"Maafkan aku," ucap Erwin. Ia menarik Maeve ke dalam pelukannya. "Sekarang kau tinggal bersamaku, Maeve. Aku akan menjagamu."

Maeve terisak hebat di pelukan Erwin. Menggenggam erat dua badge milik ayah dan ibunya yang tidak akan pernah kembali lagi. Kini ia sendirian, sebatang kara di dalam tembok tanpa orang tua.

***

Satu bulan setelah kepergian orang tuanya, Maeve menghampiri Erwin yang sedang bekerja di ruangannya. Ia menatap kedua mata pamannya dengan mantap seraya berkata, "Aku mau menjadi prajurit."

Tangan Erwin yang sedang menulis laporan ekspedisi langsung berhenti bergerak. Ia menatap Maeve yang berada di hadapannya. "Kau serius?"

"Aku mau menjadi prajurit hebat seperti ayah dan ibuku." Maeve tak bergeming. "Aku mau mati atas nama kehormatan, aku mau mati sebagai penyelamat manusia."

Erwin terdiam mendengar perkataan Maeve. Ia tak akan menentang apapun keinginan gadis itu. Ia bebaskan Maeve untuk memilih jalan hidupnya. Dan jika jalan hidup yang dipilih Maeve sama seperti kedua orang tuanya, maka Erwin hanya bertugas untuk mempersiapkannya menjadi prajurit yang terbaik.

"Besok kau mulai berlatih," balas Erwin. "Kau harus jadi yang terbaik."

Erwin mengutus prajurit terbaiknya, kapten pasukan pengintai, untuk melatih Maeve Fletcher. Dia Levi Ackerman, pria dengan sorot mata tajam yang menatap Erwin penuh rasa tak suka ketika Erwin memberinya perintah untuk melatih Maeve.

"Demi Tuhan, aku bukan pengasuh bayi, Erwin," protes Levi tanpa basa-basi.

"Dia bukan bayi, Levi. Dia hanya tiga tahun lebih muda darimu," sangkal Erwin ringan. "Melatih Maeve seharusnya bukan masalah besar bagimu."

"Memang bukan masalah besar, tapi aku punya banyak pekerjaan yang lebih penting daripada melatihnya."

"Maka jadikan Maeve salah satu pekerjaan pentingmu itu," kata Erwin. Final, tak bisa lagi ditolak oleh Levi. Walaupun lelaki itu pembangkang, satu-satunya orang yang tidak akan dia tentang adalah Erwin Smith. Levi mempercayai segala intuisinya.

Satu hal yang Levi tekankan kepada Erwin ketika ia menerima tugas itu adalah ia seorang pelatih yang kejam. Ia tidak akan memberikan Maeve keringanan hanya karena ia anak kecil kesayangan Erwin. Erwin tampak tidak keberatan, jadi Levi tetap menerapkan gaya melatihnya sendiri.

Sebenarnya Maeve sudah sering bertemu dengan Levi. Terkadang ia ikut kedua orang tuanya ke acara minum teh yang diadakan Erwin dan Levi sering berada di sana. Hanya saja mereka tak pernah sekalipun berbicara. Beberapa kali Erwin menyuruh Levi mengobrol dengan Maeve karena usia mereka tak terpaut jauh, tetapi Levi dengan cepat menolak. Malas berinteraksi dengan 'anak kecil merepotkan' yang suka menyusup ke acara penting orang tuanya.

"Kapten Lev-"

"Levi saja untukmu," potong Levi sebelum Maeve selesai menyapanya. "Kau tak akan memanggilku kapten kecuali kau anggota reguku."

Maeve merengut kesal. Memangnya mengapa? Padahal seluruh anggota pasukan pengintai memangil pria cebol itu dengan 'kapten'.

"Baiklah, Levi." Maeve mengalah. "Jadi latihan ini kita mulai dari mana?"

"Aku akan mengetes ketahanan fisikmu terlebih dahulu," kata Levi. Ia mengedarkan pandang ke sekeliling tembok. "Jadi kau harus berlari-"

"Ah itu sangat mudah!"

"- mengelilingi tembok."

Kedua mata Maeve melebar. "Kau gila? Aku bisa mati!"

"Kalau begitu lupakan saja menjadi prajurit. Berlari saja kau mati, apalagi bertarung di luar tembok?"

Maeve adalah gadis yang tak mudah menyerah. Maka ia langsung menuruti perintah Levi. Maeve mulai berlari mengelilingi tembok dengan Levi yang mengikutinya di belakang, naik kuda.

"Kau curang!" Maeve protes melihat Levi naik kuda. "Kau sendiri tidak bisa kan berlari mengelilingi tembok ini?"

Levi melirik malas. "Aku sudah melakukannya saat usiaku 10 tahun."

Maeve melotot tak percaya. Pria ini memang gila, tak heran jika orang-orang kadang memanggilnya monster mengerikan. Kekuatannya sama dengan ratusan prajurit.

Baru seperempat putaran mengelilingi tembok, Maeve sudah menyerah. Ia jatuh terduduk di hamparan rumput. Napasnya terengah-engah. Sementara Levi turun dari kudanya, menyerahkan sebotol air kepada gadis itu.

"Lumayan untuk ukuran anak kecil pemalas sepertimu," puji Levi kepada Maeve.

Maeve mendelik kesal, tidak merasa itu adalah pujian. "Ya, terima kasih sekali loh Levi!"

Levi membiarkan gadis itu beristirahat selama lima belas menit sebelum naik ke atas kudanya lagi. Maeve menatap Levi penuh tanya sampai akhirnya lelaki itu berkata, "Ayo lanjutkan lagi. Aku tidak menyuruhmu berhenti bukan?"

Maeve mengutuk Levi dalam hatinya.

Lihat saja, aku akan jadi anggota regumu!

***

Serene [ Levi x OC ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang