19: Arti Bahagia

213 22 0
                                    

Maeve mengerjapkan matanya perlahan saat sinar matahari terasa begitu menusuk mata. Ia melirik jam yang tergantung di dinding. Pukul tujuh pagi, masih sangat awal untuk terbangun. Ketika ia menggeser tubuhnya, Maeve merasakan sebuah tangan melingkar di perutnya.

Benar. Semalam Levi memang menumpang tidur di kamarnya dengan alasan agar bisa tertidur nyenyak.

Maeve membalik tubuhnya menghadap Levi. Ia menangkup pipi lelaki itu, menatap wajah damainya ketika tidur. Kalau Levi sedang tertidur seperti sekarang, ia terlihat seperti anak kecil. Siapa yang menyangka kalau pria di hadapannya ini telah membunuh ratusan titan selama ekspedisi.

"Jam berapa sekarang?"

Suara serak Levi membuat lamunan Maeve buyar. Gadis itu mengecup pipi Levi sekilas lalu berkata, "Baru jam 7 pagi. Kau masih bisa tidur lagi kalau mau."

"Tidak, kepalaku sudah pusing karena terlalu banyak tidur."

"Kau baru tidur selama lima jam, Levi."

"Ya." Levi mengeratkan pelukannya di perut Maeve. "Biasanya aku hanya tidur satu jam."

Maeve menghela napas pasrah. Levi dan insomnianya, Maeve berharap Levi bisa berangsur sembuh dari kesulitan tidur setelah ini.

"Lagi."

Maeve mengerutkan keningnya mendengar perkataan Levi. "Apanya yang lagi?"

"Cium aku." Levi menunjuk bibirnya sendiri sambil memejamkan mata. "Di sini."

Maeve mendecih. "Kau belum sikat gigi!"

"Ayolah!"

"Biasanya kau yang paling peduli soal kebersihan!"

Levi bergerak duluan untuk mengecup singkat bibir Maeve. "Kau terlalu banyak bicara, Maeve."

Maeve merengut. Setelah saling mengutarakan perasaan satu sama lain beberapa bulan lalu, Levi berubah menjadi lelaki manja yang haus perhatian. Maeve tidak keberatan, ia justru senang. Namun sangat mengejutkan melihat lelaki yang biasanya bersikap dingin itu kini merengek minta dicium.

"Sebaiknya kau kembali ke kamarmu sendiri sebelum Erwin melihat," kata Maeve.

"Biarkan saja orang tua itu." Levi mendengus kesal. "Usiamu sudah lebih dari dua puluh tahun, tapi ia memperlakukanmu seperti balita."

Maeve tertawa. "Paman kan belum pernah jatuh cinta, Levi."

"Menyedihkan sekali."

"Jangan meledek pamanku!" Maeve mencubit ujung hidung Levi. "Menyingkirlah, aku mau ke dapur membuat sarapan."

"Buatkan teh untukku."

"Tanpa kau beri tahu pun aku sudah akan membuatnya untukmu."

Maeve bangkit dari tempat tidur. Ia menyisir rambutnya di depan kaca. Sementara Levi berbaring menyamping, memandangi Maeve yang sedang merapikan penampilannya.

"Kau tahu kalau kau cantik kan?"

Maeve menoleh. "Ini kali pertama kau mengatakannya."

"Kalau begitu mulai sekarang aku akan sering mengatakannya." Levi tersenyum kecil. "Kau cantik Maeve, sungguh. Aku selalu suka mata bulat dan rambut ikalmu."

"Aku sempat berpikir untuk memotong rambutku seperti Mikasa."

Levi langsung bangkit dan duduk di atas ranjang. "Jangan!"

"Kenapa memangnya?" tanya Maeve bingung.

"Rambut panjangmu sangat bagus, aku suka melihatnya tertiup angin saat kau naik kuda." Levi menjawab. "T-tapi! Jika rambut pendek membuatmu nyaman, boleh-boleh saja."

Serene [ Levi x OC ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang