13: Pelarian

163 20 0
                                    

Maeve dan Levi tiba di rumah persembunyian mereka keesokan harinya jam 5 pagi. Semua orang bahkan masih tertidur. Mereka berdua memutuskan untuk langsung kembali ke rumah setelah menyelesaikan diskusi mereka dengan Erwin. Sementara Hange dan seluruh anggota timnya masih berada di barak militer Distrik Trost.

"Kau tidurlah sebentar," ucap Levi. "Kau belum tidur semalaman."

"Kau juga, Kapten."

"Kau tahu aku tidak pernah tidur."

"Tapi tubuhmu butuh beristirahat," tutur Maeve. "Ayo, aku temani."

Levi melotot. "Apa?"

"Terakhir kali kau bisa tidur saat aku temani kan?" Maeve membuang pandangannya. Berusaha tak menatap kedua mata Levi. "J-jadi ayo, aku temani sampai kau tidur."

Maeve sudah membulatkan tekadnya. Ia harus mencari tahu tentang perasaan aneh yang selalu ia rasakan ketika berdekatan dengan Levi. Jadi mulai sekarang, ia harus lebih banyak menghabiskan waktu dengan pria itu. Memastikan kalau ia tak mungkin menyukai pria cebol penuh emosi di hadapannya ini.

"Ya sudah."

Di luar dugaan, Levi malah menerima ajakan Maeve. Mereka berjalan beriringan menuju kamar Levi. Berusaha tak membuat suara apapun agar tidak membangunkan anak-anak yang masih tertidur.

Setelah menutup pintu kamar, Levi dan Maeve duduk di sofa yang ada di kamar Levi. Maeve melirik lelaki itu. Mereka sama-sama duduk di tepi sofa, saling berjauhan.

"Mendekatlah, Capt. Apa kita sedang bermusuhan?" Maeve berusaha memberanikan diri. Ia menepuk pahanya. "Rebahkan kepalamu di sini seperti waktu itu."

"Lalu kau tidur sambil duduk?" Levi bertanya.

"Ya, memangnya bagaimana lagi?"

Levi malah berdiri dari sofa lalu beranjak menuju tempat tidurnya yang ada di ujung ruangan. Maeve merasakan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Apa yang lelaki itu pikirkan?

"Kemari," panggil Levi sambil menepuk sisi tempat tidur di sebelahnya.

"Apa kau gila?" Maeve melotot.

"Apa? Kau yang mau menemaniku tidur kan?" Levi balas melotot. "Cepat kemari! Aku punya firasat ini kali terakhir kita bisa tidur dengan nyaman."

Maeve berjalan perlahan sembari mengatur napasnya. Ini kesalahan besar. Mengapa setelah memikirkan tentang ciri orang jatuh cinta semalam, Maeve jadi terus-terusan berdebar saat berdekatan dengan Levi? Padahal sebelumnya ia tak pernah setegang ini.

Maeve duduk di tepi kasur, sementara Levi sudah merebahkan dirinya terlebih dahulu. Melihat tak ada pergerakan lanjutan dari Maeve, Levi mendecak sebal.

"Kau tahu kita tak punya banyak waktu untuk tidur. Berhenti membuang waktu!" Levi mendesak. "Kalau kau berubah pikiran, kembalilah saja ke kamarmu."

"T-tidak!" Maeve menggeleng cepat. "Aku mau tidur di sini."

Akhirnya Maeve merebahkan dirinya di sebelah Levi. Ia menatap langit-langit kamar dengan gugup. Di sebelahnya, Levi juga melakukan hal yang sama. Diam sembari menatap langit-langit kamar yang sedikit berdebu.

"Apa kau butuh selimut?" Levi memecah hening dengan pertanyaannya.

"Tidak, terima kasih. Bajuku sudah cukup hangat, Kapten."

"Baiklah."

Maeve melirik Levi. Lelaki itu sedang memejamkan matanya, berusaha untuk tidur. Ia memperhatikan setiap fitur wajah Levi. Matanya yang selalu tajam, batang hidungnya yang tinggi, bibir tipisnya, dan juga rahangnya yang tegas. Maeve jadi mengerti mengapa Levi cukup populer di antara pasukan pengintai wanita.

Serene [ Levi x OC ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang