180°

3 2 0
                                    

Masjid syahidan dulunya adalah sebuah masjid kecil warisan Bani Hasan. Tapi sekarang semua orang yang melewatinya pasti akan menatap dengan penuh kekaguman padanya. Ornamen klasik dengan warna white gold yang membuat kesan mewah. Ukiran ukiran indah menghiasi tiap pintunya, tiang tiang besar berdiri kokoh memutari masjid dengan kubah besar berwarna emas itu.
   
Interiornya pun tak kalah menakjubkan. Dinding dengan gambar Ka'bah menghiasi tempat pengimaman, atap masjid yang dicat menyerupai langit dengan warna cerah, dan kaligrafi yang memutari masjid, dan tak lupa lampu besar klasik menggantung gagah di tengah langit langit. Rasanya masjid syahidan sudah pantas jika disandingkan dengan masjid di pusat kota.
   
Jamaah berdatangan sejak adzan Maghrib berkumandang, beberapa datang dengan kendaraannya sedangkan sisanya memilih untuk berjalan kaki bersama anggota keluarganya. Momen Maghrib adalah satu satunya momen dimana seluruh masyarakat kampung syahidan datang ke masjid untuk menunaikan sholat berjamaah, terkecuali untuk keluarga Hamadi.
   
Keluarga dengan tingkat kekayaan nomor satu di kampung syahidan itu nampaknya belum tergerak hatinya untuk turut serta ambil bagian dalam meramaikan masjid. tampaknya hanya merekalah satu satunya keluarga yang tidak mendapat dampak positif setelah perlawanan sengit Najmi, Arif, dan Najwa dalam membasmi sujewo beberapa bulan yang lalu. Tapi manusia memang hanya bisa melihat luarnya tanpa mengetahui apa isi di dalam hati manusia. Siapa yang tahu kan ° _°
   
Sholat Maghrib telah usai, seluruh jamaah pulang meninggalkan beberapa orang yang masih betah berdiam diri di masjid sembari menunggu sholat selanjutnya. Para anak anak dan remaja pun turut singgah di masjid sembari menambah ilmu mereka di TPQ masjid syahidan.
   
TPQ yang dahulunya hanya diisi oleh sepuluh santri kini memiliki lima lusin santri yang terbagi dalam empat kelas tanpa sekat dengan jarak sebagai pemisahnya. Sebuah kelas diujung yang bisa kita sebut sebagai kelas satu, berisi manusia manusia kemasan sachet yang baru belajar Alif ba ta. Dan orang yang duduk di posisi paling depan sebagai pengajar adalah Shinta, istri ustadz Arif yang cantik, manis dengan sifat cemburu yang sedikit lebih tinggi, namun kesabaran setebal baja.
   
Sedangkan disampingnya ada kelas dua A yang berisi manusia kemasan pouch yang baru saja belajar membuka lembaran Al-Qur'an mereka, kelas khusus perempuan ini diajar langsung oleh pimpinan majelis ta'lim ibu ibu kampung syahidan, ibu Yati yang banya bicara dan kurang disukai karena sifat cerewetnya. Sedangkan kelas dua B diisi oleh pria pria muda dengan tingkat pembelajaran yang setara dengan kelas dua A. Seorang pria tiga puluh lima tahun duduk di depan kelas, dialah kang Yayan sosok pemimpin organisasi REMAS BAJU (REmaja MAsjid Syahidan BAik dan JUjur).
   
Dan kelas yang terakhir adalah kelas tiga yang diisi oleh manusia manusia purbakala yang sudah menghuni TPQ masjid syahidan sejak awal kemunculan ustadz Arif. Mari kita lihat, ada lima belas santri yang hadir, diantaranya sepuluh santri lama dan lima santri baru yang langsung masuk kelas tiga karena usia mereka sudah melebihi batas kelas dua. Dua baris meja dengan dua orang di masing masing meja yang biasa disebut dampar. Baris kanan untuk santriwati sedangkan yang kiri berisi santri peci.
  
Dan tokoh utama kita ada disana, di meja paling depan bersama sahabatnya Lafi. Dibelakangnya turut duduk Sera dan Disa, lalu dibelakangnya lagi ada Okta dan Elma, sementara bangku belakang ada Nur, Mala dan Naya yang kebetulan sebaya. Meja kiri paling depan dikuasai oleh Rhino dan Davi sebagai contoh santri teladan, dibelakangnya ada Ghufron dan Galih, dibelakangnya lagi ada Haikal dan ridho.
   
Suara gemuruh bising dari masing masing mulut yang hadir memenuhi suasana kelas tiga, hingga sebuah pukulan tongkat mendarat di meja guru. Ustadz Arif hadir dengan mata penuh ancaman berhasil membuat seluruh santrinya diam.
   
"Dibaca Al-Qur'annya!!" Titahnya kemudian duduk di singgasana miliknya, mengamati sosok sosok yang hadir karena merasa janggal dengan lebihnya santri yang duduk di meja belakang.
   
"Kayaknya ada yang baru malam ini." Ustadz Arif berucap sendiri sambil mengusap janggutnya, berusaha menyindir sosok baru yang biasa dipanggil Najmi itu.
   
Diam, tak ada yang menanggapi karena semua sedang sibuk dengan Al-Qur'annya. Ustadz Arif memutar otak, teringat dengan teknik komunikasi yang telah lama dia tinggalkan sejak tak ada lagi koneksi yang bisa ia hubungi. Telepati.
   
'cek cek.' Ustadz Arif mulai berusaha fokus pada koneksi tujuannya.
   
'ekhem ekhe,, cek.. tes halo satu dua tiga. Tes, dicoba.'
   
'cek cek, tes halo halo halo dicoba satu dua tiga.'
   
Najmi melirik sekilas pada ustadz Arif karena merasa terganggu dengan sinyal yang diterima. Ustadz Arif tersenyum dengan alis terangkat.
   
'haai Najmi!! Apa kabar??'
   
'alhamdulillah baik kak. Tapi sepertinya ada banyak hal yang perlu dibicarakan.'
   
'bicaralah, gak ada yang bakal denger kok.'
   
Najmi menggeleng. 'bukan sekarang.'
   
Ustadz Arif mengangkat sebelah alisnya. 'jadi kapan??'
   
'besok, ditempat biasa.'
   

_____🇳 🇦 🇯 🇲 🇮______
ᵗʰᵉ ⁿᵉʷ ᵇᵉᵍⁱⁿⁿⁱⁿᵍ

   
Malam belum berlalu, tapi dini hari sebentar lagi akan tiba. Lampu kamar sudah dimatikan, berganti lampu bintang bintang dan sebuah lampu tidur bentuk bulan yang menggantung indah di langit langit kamar. Najmi diam di pojok kamarnya, kepalanya menangkup diatas meja dengan barisan buku dan kitab random koleksinya. Tangannya memegang pena, membuat goresan abstrak diatas kertas dengan judul tutorial agar keluarga mau diajak ke masjid.
   
Menghela nafas lalu membuangnya jauh jauh, nasib baik nafasnya mau kembali terhirup sebelum Najmi kehabisan oksigen. Ponsel tergeletak tak berdaya dengan layar yang masih menunjukkan mesin pencarian dengan beberapa kata kunci yang seirama. Tutorial membuat keluarga mau diajak ke masjid.
   
Ini semua adalah akibat dari mulut Sera yang tidak mau berhenti bicara tentang keburukan keburukan Najmi. Mulai dari Hamadi dan suyashi yang tidak pernah menampakkan dirinya di masjid maupun majelis ta'lim ibu ibu. Kenakalan Andra, dan semua hal yang bisa dia kritik. Najmi diam, tapi mau bagaimana lagi kan. Hati tak pernah ada yang tau, tapi yang pasti Najmi juga menginginkan banyak hal baik untuk keluarganya. Dan satu satunya yang dia punya hanya ini, MBAH GOOGLE.
   
*Ting.... Ting.... Ting....*
   
Ponsel berdering kencang membuat Najmi bergerak cepat menggeser tombol hijau di layar. Suara Munib menyapa dengan ceria, seolah tak bersalah karena membuat Najmi hampir terkena serangan jantung.
   
"Hai Najmi!!"
   
Najmi menarik nafas panjang sebelum menjawab sapaan munib, takut suara bernada tinggilah yang muncul. "Hai juga Munib." Najmi tersenyum terpaksa.
   
"Kamu ngapain nelpon jam segini?? Kalau sampe bapakku denger nanti dia bisa marah tauu!!" Najmi berucap pelan namun penuh penekanan di tiap katanya.
   
Kekehan terdengar, Munib tak merasa bersalah sedikitpun. "Sampe rumah jam berapa?? Gak ngabarin aku."
   
"Pagi baru sampe, soalnya semalam ujan deres..."
   
"Tuhkan ngeyel." Munib memotong ucapan Najmi, merasa menang karena ucapannya semalam terbukti.
   
"Bukan aku yang ngeyel." Najmi membela diri.
   
"Sama aja." Timpal Munib tak mau kalah.
   
"Eh, itu kemarin malam beneran mamasmu??" Munib bertanya penasaran.
   
"Iya lah, yakali aku ikut orang lain."
   
"Tapi gak mirip tuh."
   
"Kamu sama bang Reza aja gak mirip."
   
Suara kekehan Munib terdengar lagi. "Tapi dia kelihatan aneh tau, kayak sayang sama kamu." Munib terdengar ragu dengan pendapatnya barusan.
   
"Namanya juga saudara mun." Najmi acuh, mulai meninggalkan meja belajarnya lalu beralih ke kasur dan menghempaskan tubuhnya disana.
   
"Tapi beda na, bukan sayang antar saudara. Tapi lebih ke laki laki ke perempuan, kamu tau kaan." Ucapan Munib terdengar ambigu.
   
"Ya kan emang laki laki sama perempuan Mun."
   
Munib menghela nafas jengah. "Iya wes iya, sesukamu na." Munib mengalah.
   
Najmi terkekeh pelan, senang karena akhirnya menang dari Munib. "Eh iya, aku mau tanya sesuatu nih."
   
"Tanya apa?? Ngomong aja."
   
"Gimana caranya biar keluarga kita mau diajak ke masjid??"
   
"Keluarga kita?" Munib bertanya menggoda, membuat Najmi mengulang pertanyaannya.
   
"Keluargaku Mun, keluargaku." Ralat Najmi kesal.
   
"Ya tinggal diajak aja na, kan sudah dewasa, sudah bisa jalan sendiri, sudah bisa diajak bicara, kenapa susah susah."
   
"Tapi susah Mun!"
   
"Diiket aja gimana?? Tarik terus iket di pohon depan masjid."
   
"Heh, kamu kira mau kurban apa??"
   
Munib terkekeh. "Apanya yang susah??"
   
"Aku yang susah ngomongnya."
   
"Kenapa susah??"
   
"Kamu kan tau aku orangnya pendiem."
   
"Ya udah, ajaknya diem diem aja."
   
Najmi memejamkan matanya, menghela nafas mendengar ucapan Munib yang semakin tak beraturan.
   
"Udahlah Mun,, tidur sana. Kamu kalau ngantuk ngomongnya suka ngelantur."
   
Munib terkekeh, "maaf becanda na, aku kasih tau caranya ya."
   
"Jadi gini...."
   

_____🇳 🇦 🇯 🇲 🇮______
ᵗʰᵉ ⁿᵉʷ ᵇᵉᵍⁱⁿⁿⁱⁿᵍ

   
   
   
   

NAJMI (the new beginning)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang