☆ ★ ✮ ★ ☆
Luna menatap kosong ke depan, pikirannya mengembara ke mana-mana. Angin sejuk yang bertiup dari jendela tidak membantu menenangkan hatinya yang gelisah.
Sebuah sentuhan lembut di bahunya membuat Luna tersentak. Dia berbalik dan melihat paman Ari tersenyum kepadanya. Senyuman itu membuat Luna terkejut, rasanya sudah lama dia tidak melihat Paman Ari tersenyum seperti itu.
"Lun, Paman ingin bicara," katanya dengan tersenyum. Ada kehangatan dalam suaranya, berbeda dari nada tegas dan dingin yang Luna ingat. Tunggu, tersenyum? kenapa?
"I-iya," jawab Luna dengan gugup. Matanya menunduk, menghindari kontak mata dengan pamannya. Sejak insiden beberapa tahun yang lalu, hubungan mereka memburuk. Luna sering merasa bahwa pamannya membencinya.
"Paman ajak Bu Ani juga ya, biar kamu lebih tenang." ujarnya kemudian memanggil Bu Ani agar ikut dengannya dan Luna. Paman Ari tentu saja mengerti kenapa luna seperti takut dengannya, tapi kali ini. Ia akan menjelaskan semuanya dan meminta maaf pada keponakan satu-satunya ini.
"Masuk dulu ya...Nduk," kata Bu Ani dengan lembut, menyadarkan Luna dari lamunannya. Luna mengangguk dan mengundang mereka untuk masuk ke ruang tamu.
Ketiga orang itu duduk di ruang tamu dalam keheningan yang canggung. Masing-masing larut dalam pikiran mereka sendiri. Paman Ari mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
"Lun, paman minta maaf ya," kata Paman Ari, suaranya penuh penyesalan. Mendengar permintaan maaf dari satu-satunya paman yang tersisa, Luna tidak bisa menahan air matanya.
"Nduk... kenapa nangis?" tanya Bu Ani, sambil memeluk tubuh Luna yang bergetar. Bu Ani sudah lama seperti ibu bagi Luna, dan pelukan hangatnya membuat tangis Luna semakin deras. Ari, satu-satunya keluarga yang tersisa, menyentuh pipi Luna, menghapus air matanya.
"Ih, masa keponakan paman nangis, cengeng kamu, Lun," kata Paman Ari dengan nada bercanda, mencoba meredakan suasana.
"Luna nggak nangis, paman," bantah Luna, sambil mengusap air matanya cepat. Dia berusaha menunjukkan keberaniannya, tapi air mata masih menetes di pipinya.
"Iya... iya, Luna nggak nangis," Ari menepuk punggung Luna dengan pelan.
"Lun, Paman nggak bermaksud untuk membenci kamu. Maafkan paman yang menyalahkan kamu dulu. Paman hanya tidak ingin kamu hidup menderita kalau bersama paman. Maafkan paman yang meninggalkan kamu," kata Paman Ari, matanya penuh dengan penyesalan.
Mendengar kata-kata itu, Luna tahu bahwa permintaan maaf pamannya tulus. "Luna maafin paman, Luna juga minta maaf nggak pernah nanya alasan kenapa paman dulu membenci Luna," ucapnya dengan nada pelan.
"Makasih ya, Lun. Kamu nggak salah. Paman yang salah di sini," balas paman Ari dengan rasa penyesalan. Dia tampak menyesal atas sikapnya di masa lalu.
Bu Ani tersenyum melihat paman dan keponakan itu. "Nah, enak kan kalau adem gini," ujarnya sambil merangkul Luna.
Luna mengambil napas dalam-dalam, lalu berkata, "Luna mau jujur ke Ibu Ani dan Paman." Dia merasa bahwa inilah saat yang tepat untuk memberitahu rahasianya. "Sebenarnya Luna besok bukan pergi untuk bekerja di luar kota. Luna sebenarnya dapat beasiswa kuliah." Pengakuan ini membebani hatinya, tetapi Luna tahu bahwa ini adalah saat yang tepat untuk berbicara jujur
"Yang bener, Lun?" tanya paman Ari, terkejut dengan pengakuan Luna. Luna mengangguk, memberikan senyum tulus sebagai jawaban.
"Alhamdulillah," kata Bu Ani dengan senyum lebar. "Ibu bangga sama kamu, Luna."
"Kalau kamu menikah nanti, gimana, Lun?" Paman Ari mengajukan pertanyaan serius, Luna menggeleng, menunjukkan ia sendiri pun tidak tau
"Lun, yang tadi. Apakah benar Lun?" lanjut Paman Ari, bertanya dengan hati-hati, ingin memastikan kejadian tadi pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luminous
Romance"Kita memiliki banyak perbedaan. Aku hanyalah butiran debu, sedangkan kamu adalah bintang yang bersinar di atas." -Luna. "Jangan berharap banyak dari gue. Gue di atas, lo di bawah," -Archio ─── ⋆⋅☆⋅⋆ ── Luna Adzkia, seorang gadis desa yang baru saja...