☆ ★ ✮ ★ ☆
Archio dan Kian kembali ke depan halaman rumah Luna setelah sepuluh menit berlalu. Saat mereka tiba, kerumunan warga sudah semakin ramai, dan Luna sendiri berdiri di antara mereka. Wajahnya terlihat tenang, tetapi sorot matanya mengisyaratkan kekhawatiran, seolah tahu bahwa apa yang akan terjadi dapat mengubah hidupnya selamanya.
"Teman saya akan menikahi Luna," ujar Kian dengan nada serius, suaranya cukup keras untuk didengar oleh semua orang di sekitarnya. Pernyataan itu membuat warga mulai berbisik-bisik, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi.
Luna yang mendengar pernyataan itu terkejut, ia menahan napas dan mencoba tetap tenang meski jelas terlihat rasa takut di matanya.
"Pilihan yang tepat," Pak Shaleh terlihat puas dengan pernyataan yang ia dengar. Sedangkan Archio ia menatap benci pria paruh baya itu, tidak ingin menatap Pak Shaleh berlamalama, Archio mengalihkan pandangannya, tak ingin melihat wajah-wajah yang tadi menghakiminya.
"Tapi ada syarat yang kami inginkan," Ujar Kian tiba-tiba dengan nada tegas.
"Apa itu?" tanya Pak Shaleh, penasaran dengan permintaan Kian. Warga sekitar pun ikut mendengarkan dengan penuh perhatian, berharap mendengar sesuatu yang lebih besar atau mungkin lebih menarik.
"Akad hanya akan dilakukan oleh Bapak dan saya sebagai saksi, bersama wali dari mempelai perempuan," jelas Kian. "Selain itu, kami ingin akad ini tanpa kehadiran mempelai perempuan. Kami ingin Luna menunggu di mobil kami hingga akad selesai," tambahnya.
Pak Shaleh mengernyitkan dahi, tidak biasa mendengar permintaan seperti ini. "Kenapa begitu?" tanyanya, ingin tahu alasan di balik syarat yang tidak lazim ini.
Sementara itu, Luna hanya berdiri diam, seolah sedang memproses semua informasi yang baru saja ia dengar.
Kian tahu bahwa syarat ini bisa dianggap aneh, tetapi ia tidak ingin ada drama atau insiden yang bisa menarik perhatian media. Selain itu, Archio tidak ingin Luna mengetahui identitasnya. "Kami ingin pernikahan ini berlangsung secepat dan sesederhana mungkin," jelas Kian kepada Pak Shaleh. "Ini masalah privasi dan keselamatan. Kami tidak ingin ada gangguan atau orang yang mencoba mencari-cari kesalahan," lanjutnya, berharap bahwa penjelasan ini cukup untuk meyakinkan Pak Shaleh dan warga lainnya.
Pak Shaleh tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk perlahan. "Baiklah, kalau itu maunya kalian," katanya, meskipun masih terlihat ragu.
Pak Shaleh kemudian berbalik ke arah warga yang berkumpul. "Semuanya, pulang ke rumah masing-masing sekarang juga. Kalian sudah dengar bukan?" kata Pak Shaleh dengan suara tegas. Beberapa warga tampak kecewa, tetapi mereka mulai beranjak pergi satu per satu, meski sambil berbisik-bisik dan mengobrol pelan.
"Pak, biarkan saya menemani Luna saat akad nikah berlangsung," ujar Bu Ani, menolak untuk pergi seperti warga lainnya. Pak Shaleh menatap Kian, seolah meminta persetujuannya.
Kian mengangguk dengan tenang. "Tidak masalah."
Pak Shaleh kemudian mengizinkan Bu Ani untuk tetap tinggal dan menemani Luna ketika akad nikah berlangsung. Keputusan itu memberi Luna sedikit ketenangan, meski ia masih terlihat cemas dan bingung. Ia merasa seperti berada dalam tekanan besar, seakan masa depannya bergantung pada keputusan orang lain.
Di satu sisi, Luna ingin melakukan apa yang dianggap benar oleh aturan di desanya, tetapi di sisi lain, ia merasa berat harus menikah dengan seseorang yang bahkan tidak dia kenal.
Luna menatap ke bawah, memainkan ujung rok yang ia kenakan. Perasaannya campur aduk—takut, bingung, dan merasa terjebak dalam situasi yang tak ia inginkan. Jantungnya berdebar cepat setiap kali ia memikirkan kemungkinan harus menjalani hidup dengan pria yang mungkin tidak menginginkannya, bahkan harus tinggal di atap yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luminous
Storie d'amore"Kita memiliki banyak perbedaan. Aku hanyalah butiran debu, sedangkan kamu adalah bintang yang bersinar di atas." -Luna. "Jangan berharap banyak dari gue. Gue di atas, lo di bawah," -Archio ─── ⋆⋅☆⋅⋆ ── Luna Adzkia, seorang gadis desa yang baru saja...