Diva Celaka?

258 15 0
                                    

Sesampainya di lantai bawah, aku dan Pak Arkan duduk di kursi menunggu Dinda dan Gala. Aku bersandar di bahu Pak Arkan dan memandang ke arah sekitar sambil menyedot Thai tea.

“Jangan keseringan minum manis ya. Ngga baik buat dedek bayi yang ada dalam perut kamu,” tutur Pak Arkan.

“Iya sayang. Ini sekali saja kok,” jawabku.

Pak Arkan beranjak dari kursi, kemudian membungkuk di hadapanku. Dia mendekati wajahnya dengan perutku, lalu mengelus perutku yang sedikit membuncit.

“Kok perut kamu udah kelihatan besar? Padahal usia kandungan kamu masih kecil,” tanya Pak Arkan bingung.

“Itu bukan efek hamil, Pak. Tapi kumpulan lemak karena semenjak nikah sama bapak, asupan gizi saya tercukupi bahkan saya makan nasi tiga kali sehari. Belum termasuk camilan, makanya berat badan saya.” Aku menjawab jujur sambil tersipu malu.

Tidak bisa dipungkiri, semenjak menikah dengan Pak Arkan—kehidupanku begitu berwarna dan aku bisa menyantap makanan enak seperti ayam juga lauk lain yang tentu bikin naik timbangan. Ditambah aku tidak lagi bekerja dari siang hingga malam dengan menggowes sepeda.

“Bapak ngga suka kalo saya gendut ya? Kalo bapak ngga suka, nanti saya diet. Mulai besok saya bakal stop makan nasi!” kataku bertekad.

“Aku suka sayang. Asal jangan berlebihan karena berat badan berlebih  juga bikin kamu susah gerak dan minusnya bisa gagal jantung,” sahut Pak Arkan dengan tutur lembutnya.

“Tapi kata orang, setelah melahirkan pasti gemuk. Kalo aku gemuk, kamu bakal ceraikan aku?” tanyaku mulai merasa cemas dengan jawabannya.

“Pikiran kamu terlalu buruk. Masa gara-gara gemuk doang sampai cerai sih? Kan bisa olahraga, sayang.” Pak Arkan kembali berkata. “Jujur aku kurang suka sama perempuan over size apalagi mereka berlindung di balik kata self love untuk menutupi kegagalan dalam menjaga pola makan.”

“Kenapa ngga suka? Kamu pandang fisik ya?” tanyaku.

“Bukan begitu, sayang. Self love artinya mencintai diri kalau dia mencintai diri harusnya dia tahu yang baik dan tidak baik untuk kesehatan tubuhnya. Coba kamu pikir, misal setiap hari berat badan kita naik 0,5 kg berarti 20 tahun yang akan datang berat badan kita berapa?” tanya Pak Arkan.

“Pasti di atas 100 kg sih,” jawabku.

“Nah itu yang aku maksud. Emang kamu mau mati gara-gara ngga bisa jaga pola makan? Terus pas udah mati masih nyusahin orang juga karena ngga kuat gotong dia pakai keranda,” kata Pak Arkan membuatku terdiam. Aku menyimak perkataan Pak Arkan dan mulai sadar dengan kebiasaan buruk yang aku lakukan setelah makan.

“Pokoknya kita harus pintar jaga kesehatan. Kalau ada yang bilang gemuk itu sehat, bohong! Dulu teman aku di perguruan gugur karena mengalami obesitas. Dalam bahasa kasarnya, jantung dia ke tutup lemak.”

“Iya sayang. Aku janji mulai besok bakal kontrol pola makanku dan rajin olahraga,” ucapku.

“Bagus sayang. Nanti kalau anak kita lahir, aku bikin tempat gym dan khusus Ibu hamil gratis.”

Pak Arkan memandangku sambil mengukir senyuman indah. Kemudian Pak Arkan mencium perutku dan memeluknya dengan erat. Dia tidak peduli dengan puluhan mata yang tertancap padanya, dia tetap mencium perutku sambil mengusap tanganku.

“Itu Diva, kan?” tanya seorang wanita yang berada tidak jauh dari sana.

“Ngapain Diva sama Pak Arkan? Mesra banget lagi,” tanya yang lain sambil menatap wanita di antara mereka.

“Hmm, ternyata begini kelakuan kalian. Liat aja gue bakal sebar ini ke sekolah biar lo dikeluarin,” ucapnya sambil tersenyum seringai.

Dia memotret Diva dan Arkan secara diam-diam, lalu berjalan meninggalkan tempat tersebut.

Love My Teacher [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang