Aku membuka mata, melihat Gala duduk di sampingku. Aku berusaha memulihkan penglihatan dan memegang kepalaku yang masih terasa pusing.
“Di mana aku?” tanyaku lirih.
“Lo di rumah sakit,” jawab Gala.
“Di mana Pak Arkan? Gimana kondisinya?” tanyaku cemas.
Aku hendak beranjak, tetapi Gala menahan tubuhku.
“Arkan sudah dikubur,” jawab Gala dengan raut sedih.
“Apa? Enggak mungkin! Pak Arkan masih hidup! Kenapa lo tega kuburin dia hidup-hidup?” tanyaku sambil menggoyangkan bahu Gala.
“Lo gila? Enggak mungkin gue kuburin Arkan hidup-hidup! Arkan itu sudah mati dan dia suruh gue buat jaga lo,” tutur Gala tidak kalah sewot.
“Gue enggak mau lo! Gue mau Arkan! Di mana dia? Suruh dia ke sini!” titahku sambil teriak.
“Anjing lo! Gue tahu lo terpukul tapi jangan cosplay jadi orang gila juga. Lo pikir gue bohong tentang kematian Arkan? Gue juga maunya dia mati bohongan tapi kenyataannya dia sudah enggak ada, dia ada di surga sama Ibu kandungnya!” Gala menjawab dengan mata berkaca-kaca.
Aku membisu dan menunduk sendu. Aku berpikir bahwa kematian Pak Arkan adalah mimpi buruk yang bisa dibilang saat bangun dari tidur, tetapi ternyata itu nyata dan aku sudah tidak bisa melihatnya lagi.
“Kenapa gue enggak lihat proses pemakamannya?” tanyaku sambil menatap Gala.
“Lo koma selama sepuluh hari dan enggak mungkin kita tunggu lo bangun,” jawab Gala.
“Kenapa nyawa gue enggak dicabut juga? Gue enggak bisa hidup tanpa Pak Arkan,” gumamku.
“Kalau lo meninggal juga, gimana nasib Arva? Lo tega membiarkannya jadi yatim-piatu yang kekurangan kasih sayang?” tanya Gala.
“Kan ada lo dan keluarga yang lain,” jawabku.
“Tapi Arva tetap butuh lo! Kalau sewaktu-waktu gue nikah terus Ayah dan Bundaku sudah pada tua. Arva sama siapa? Lo mau lihat dia salah jalan dan jadi anak berandal?” tanya Gala.
Ucapan Gala menusuk jantungku. Dia benar, Arva membutuhkan kasih sayang dan dia hanya bisa mendapatkannya dari orang tua kandung. Mau sebaik apa pun keluarga yang menjaga, hidupnya tidak sebaik anak yang dijaga dan mendapat kasih sayang dari orang tua kandung.
“Gue mau ke makam Akan,” ucapku.
“Lo masih sakit,” sahut Gala.
“Please, gue mau ketemu sama Arkan. Meskipun cuman berbentuk batu nisan,” kataku memohon.
Gala menghela napas, dan menatapku dengan raut datar. “Ya sudah, tapi gue antar ya? Gue enggak mau lo terluka karena gue yang diamanahkan sama Arkan.”
Aku mengangguk, kemudian Gala menggendongku dan menaruhku di atas kursi roda. Dia mendorong kursi roda dan berjalan menuju luar, kami sedikit mengendap-endap karena takut ketahuan perawat yang bertugas mengawasi kondisiku.
Sesampainya di depan mobil, Gala kembali menggendongku dan memasukkan kursi roda ke dalam bagasi. Setelah itu, dia masuk dan menancapkan pegas mobilnya.
“Makasih ya. Lo baik banget sama gue,” kataku.
Gala hanya tersenyum dan mengemudikan mobilnya menuju pemakaman umum dan sesampainya di sana, Gala memarkirkan mobil lalu turun dari mobil.
Gala membukakan pintu untukku, lalu memberikan tongkat yang bisa aku pakai untuk menopang tubuhku.
Aku menerima tongkat tersebut dan turun dari mobil. Gala menggenggam tanganku supaya aku bisa menstabilkan kakiku.
Kami berjalan memasuki pemakaman dan membeli satu plastik bunga dan air untuk disiram di kuburan Arkan. Setelah itu, kami menuju kuburan Pak Arkan yang terletak tidak jauh dari depan.
“Assalamualaikum, sayang.” Aku berjongkok dan memegang papan nisan milik Pak Arkan. Aku berusaha menahan tangisanku supaya Pak Arkan tidak sedih melihatnya.
Dia ingin aku tersenyum dan ikhlas dengan kepergiannya dan sekarang aku sedang berusaha untuk menepati wasiat terakhirnya.
“Gimana kondisi lo, Bang? Sudah enggak sakit, kan?” tanya Gala.
“Kamu harus bahagia di sana. Sekarang kamu sudah bertemu sama Ibu kandung kamu dan aku juga akan menjaga Arva hingga seumur hidupku,” tuturku.
“Lo tenang saja, gue bakal jaga Diva dan Arva. Gue pastikan enggak ada orang yang berani melukai mereka!” seru Gala dengan tegas.
Aku meliriknya, dan tersenyum kecil. “Aku janji cuman kamu satu-satunya pria yang bertakhta di hatiku. Aku enggak akan pacaran dan menikah lagi,” ucapku.
“Ha? Terus gue gimana? Masa lo mau gantung perasaan gue seumur hidup?” tanya Gala.
“Itu urusan lo! Yang jelas hati gue cuman milik Arkan Dirgantara,” jawabku.
Aku menabur bunga di kuburan Pak Arkan dan menyiramkan air khusus yang sudah aku beli. Aku mengusap papan nisan Pak Arkan. “I love, sayang. Tunggu aku dan Arva di surga,” kataku lalu tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love My Teacher [END]
Teen FictionAdiva Putri Ivana, siswi kelas XI yang menyimpan kemalangan dalam hidupnya. Adiva harus merawat Ibunya yang lumpuh, sedangkan Ayahnya kabur bersama janda setelah Ibunya divonis lumpuh seumur hidup oleh dokter. Adiva terpaksa bekerja untuk memenuhi k...