Pernikahan

519 20 0
                                    

Beberapa hari kemudian.

Tak terasa hari pernikahanku dan Pak Arkan pun tiba. Aku duduk di depan meja rias menggunakan baju adat khas Padang karena Pak Arkan berasal dari Padang, sedangkan aku adalah Jawa campuran Minang.

“Kamu yakin mau terima pernikahan ini? Kamu harus mengabdi seumur hidup loh sama dia,” tanya Ibu.

Aku melihat ekspresi sedih terpancar dari wajah Ibu. Aku mengerti kekhawatiran yang Ibu rasakan tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku melakukan ini demi keharmonisan keluarga juga mengungkapkan rasa penasaranku terhadap rahasia yang Pak Arkan sembunyikan.

“Ibu gak usah khawatir. Pak Arkan baik, dan aku yakin Pak Arkan bisa membimbingku ke jalan yang benar. Selama ini ibu selalu melarang aku pacaran kan? Mungkin ini jalan terbaik yang Allah berikan supaya aku terhindar dari zina,” tutur aku.

Aku berusaha meyakini Ibu supaya Ibu merestui pernikahanku dengan Pak Arkan. Meskipun Ibu tidak berkontribusi dalam perjodohan ini tapi restu Ibu adalah hal yang paling penting. Sesuatu yang hadir tanpa restu Ibu, tidak akan berjalan mulus.

“Semoga Pak Arkan benar-benar mencintaimu. Ibu nggak rela anak semata wayang Ibu disakiti oleh pria,” ucap Ibu dengan suara lirih.

Aku tersenyum, lalu memeluk Ibu. Aku menyayangi Ibu dan kasih sayangku melebihi kasih sayang pada diriku sendiri. Jika boleh pilih, biar aku saja yang lumpuh akibat kecelakaan itu.

Tapi Tuhan justru menakdirkan lain. Kami sama-sama kehilangan. Ibu kehilangan satu kakinya, dan aku kehilangan ingatan yang membuatku terjebak oleh Pak Arkan.

“Divaaa!”

Aku mendengar suara teriakan dari jauh. Aku menoleh ke sumber suara dan lihat Dinda tengah berlari ke arahku.

“Lo tega! Kenapa lo gak kasih tau gue?” Dinda bertanya saat tiba di depanku.

“Kasih tau apa?” tanyaku bingung.

“Lo mau nikah, kan?” tanya Dinda membuatku diam.

Aku menatap Dinda dengan rasa bersalah, sedangkan Dinda membalas tatapanku dengan mata elangnya.

“Lo tega, Div! Kita sahabat, kan? Tapi kenapa lo selalu pendam semuanya sendiri,” tanya Dinda lagi.

“Maaf,” jawabku singkat.

Aku menunduk, menyesali perbuatanku yang selalu menutupi masalah dari Dinda. Sebenarnya aku mau bercerita tapi aku takut Dinda keceplosan kalau aku sudah menikah dan aku pasti dikeluarkan dari sekolah.

“Sebenarnya gue itu apa, Div? Kenapa lo kayak gini sama gue?” tanya Dinda lagi.

Aku menghela napas dan memberanikan diri menatap Dinda.

“Gue takut lo keceplosan. Lo punya banyak teman dan bisa aja lo bilang pernikahan ini ke teman-teman lo. Terus gue dikeluarin dari sekolah,” jawabku terus terang.

Aku tidak mau menutupi apapun lagi. Aku pasrah jika Dinda membocorkan pernikahanku dengan Pak Arkan.

“Gue gak bakal bocorin rahasia sahabat gue sendiri. Bagi gue, lo lebih dari sekadar sahabat. Lo itu kakak yang selalu ngejaga adeknya. Lo inget waktu gue pergoki ibu gue lagi berhubungan badan sama cowok, gue nangis dan lo yang nenangin gue. Terus lo juga lindungi gue pas nyokap gue mau bunuh gue karena aduin perselingkuhannya ke papa,” kata Dinda panjang lebar.

Aku diam, terharu mendengar ucapan Dinda. Sepertinya aku tidak layak disebut sahabat karena aku menuduh sahabatku akan membocorkan rahasia yang bahkan belum dia tahu.

“Gue sayang sama lo, Div. Kalo gue cowok pasti lo udah gue nikahin,” ucap Dinda membuatku merinding.

“Gak usah aneh-aneh lo! Biarpun lo cowok, gue tetep gak mau nikah sama lo!” seruku dengan ketus.

“Kenapa?” tanya Dinda.

“Nanti gue dijadiin pelampiasan. Lo kan bodoh, dikejar sama spek pangeran malah pilih cowok spek kingkong! Udah jelek, mokondo, tukang selingkuh pula. Paket komplit,” jawabku.

“Bjir. Tapi bener sih. Semoga lo nggak ngalamin kayak gue,” ucap Dinda.

Dinda cengengesan, kemudian dia duduk di sampingku dan membantu merias wajahku.

“Btw, lo mau nikah sama siapa? Nama cowok yang tertera di undangan kayak gak asing bagi gue,” tanya Dinda.

“Lo dapet undangan darimana?” Aku berbalik bertanya, penasaran kenapa undangan itu tersebar ke Dinda. Padahal aku meminta Pak Arkan untuk merahasiakan pernikahan kami.

“Dari Papa gue,” jawab Dinda.

“Hmm, gue mau nikah sama Pak Arkan.” Aku berkata jujur, tidak peduli Dinda percaya atau tidak.

“WHAT?? PAK ARKAN YANG GURU BARU ITU? LO BENERAN?” tanya Dinda. Suaranya naik 10 kali lipat.

“Iya, bener.” Aku menjawab singkat, bingung mau berkata apa. Semuanya terjadi begitu saja, bahkan aku pun tidak tahu akan dijodohkan dengan pria yang berusia 8 tahun lebih tua dariku.

“Bagus deh. Berarti gue nggak jadi dijodohin sama Pak Arkan,” ucap Dinda.

“Maksudnya?” tanyaku.

“Heem. Beberapa Minggu lalu, Papa bilang mau jodohin gue sama anak dari keluarga Dirgantara. Dan nggak jadi karena Pak Arkan udah nikah sama lo,” jawab Dinda.

“Kayaknya bukan nggak jadi deh. Pak Arkan punya adik tiri dan mungkin yang mau dijodohin sama kamu adalah adik tirinya,” sahutku.

“APA? NO! GUE NGGAK MAU NIKAH! AAA, EYANG! AKU TAKUT DI PERKOSA!” teriak Dinda dengan penuh dramatis.

“Alay banget sih. Nyantai aja kali. Kan itu cuma pendapat gue,” ucapku.

“Oh ya, nanti malem lo wajib video call sama gue ya. Biar gue tau rasanya malam pertama. Kata orang sih sakit tapi lama-lama enak,” kata Dinda.

“Gila! Yang bener aja? Rugi dong!” seruku tidak mau.

“Ya elah, kan sama gue doang. Biar gue gak penasaran. Kalo beneran sakit gue gak mau nikah,” tutur Dinda.

“Tau-taunya lo yang dinikahin sama adeknya Pak Arkan,” balasku.

Dinda menggeleng geli, aku terkekeh melihat ekspresinya yang sangat lucu. Dinda memang sahabat yang paling bisa diandalkan dan aku berharap dia jatuh ke tangan lelaki baik dan tulus.







Love My Teacher [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang