Bulan Madu

426 11 0
                                    

Aku merapikan pakaian dan memasukkannya ke dalam koper yang mau dibawa berlibur ke pantai, lalu aku berdiri dan menyeret koper. Aku berjalan keluar menuju mobil yang sedang dipanaskan.

“Sudah siap?” tanya Pak Arkan.

Aku mengangguk dan menyerahkan koperku kepada Pak Arkan. Dia mengangkut koper dan meletakkannya dalam bagasi mobil.

“Diva!” Dinda berteriak sambil berlari ke arahku.

“Kenapa?” tanyaku singkat.

“Gue ikut ya? Mau jalan-jalan juga,” katanya dengan wajah memohon.
“Iya, taruh tas lo dalam bagasi.”

“Terima kasih cantik,” ucapnya. Dia bergegas meletakkan tasnya dalam bagasi.

“Ngapain lo ke sini? Memang lo diajak?” tanya Gala sambil menatap sinis Dinda.

“Dih, terserah gue lah. Lagian gue sudah izin sama Diva kali,” jawab Dinda.

Dinda  membalas tatapan Gala dengan wajah yang tak kalah ketus. Aku menghela napas melihat keributan mereka, mencoba tidak ambil pusing dengan dua sejoli itu.

“Sudah semua?” tanya Pak Arkan sambil menghampiri kami.

“Sudah,” jawabku.

“Ayo, kita jalan.”

Pak Arkan menggenggam tanganku dan berjalan menuju pintu mobil. Dia membuka pintu untukku, lalu kami masuk dan duduk di kursi depan. Setelah memastikan semuanya memakai sabuk pengaman, Pak Arkan menancapkan pegas mobil dan menjalankan mobilnya.

“Kita berapa hari di sana?” tanya Dinda.

“Kita pulang malam karena besok saya harus mengawas ujian kelas dua belas,” jawab Pak Arkan.

“Ngga asyik dong. Masa cuman sebentar sih? Memang lo ngga bisa izin sehari, Bang?” tanya Gala.

“Ngga bisa. Lagi pula, gue sudah setuju buat jadi pengawas dan ngga bisa ganti jadwal karena guru lain juga punya kerjaan masing-masing.”
Gala menghela napas, lalu menatap Arkan dengan raut kecewa. Aku melihat ke arahnya, lalu tersenyum kecil.

“Nanti kita bisa ke sana lagi,” kataku.

“Kapan?” tanyanya.

“Kapan-kapan,” jawabku.

Gala tidak menjawab dan suasana dalam mobil menjadi hening. Tidak ada satu pun kata yang kami ucapkan, semuanya sibuk dengan urusan masing-masing.

Beberapa jam menempuh perjalanan akhirnya, kami tiba di tempat destinasi liburan. Kami keluar mobil dan mengeluarkan barang dari bagasi.

“Akhirnya gue ke pantai lagi!” Dinda bersorak dan merekam
kebahagiaannya melalui kamera.

“Berisik banget sih lo! Kayak orang kampung saja,” celetuk Gala.

“Sirik saja lo,” ketus Dinda.

Dinda mengarahkan kameranya ke arahku dan Pak Arkan yang sibuk merapikan barang-barang.

“Ini pasangan suami istri, Guys. Mereka romantis banget ya. Rapikan barang sambil pegang-pegang tangan,” ucap Dinda dari balik kamera.

“Makanya kamu nikah biar bisa pegang-pegangan juga,” sahut Gala.

“Apa sih, gue enggak ajak lo! Sana pergi, ganggu pemandangan saja lo!” seru Dinda sambil mendorong Gala.

“Ngapain dorong-dorong gue? Suka lo sama gue?” tanya Gala.

“Ih, amit-amit!” jawab Dinda.

“Masa?” tanya Gala. Dia tersenyum seringai, kemudian merampas kamera Dinda dan berlari menjauh.

“Balikin kamera gue!” seru Dinda.

“Kejar kalo bisa,” sahut Gala.

Gala berlari menuju pesisir pantai, dan Dinda langsung mengejarnya. Dinda berusaha mengambil kamera yang Gala pegang, tetapi Gala mempercepat larinya hingga Dinda kewalahan.

“Kelakuan mereka kayak anak kecil,” tutur Pak Arkan sambil melihat keributan Dinda dan Gala.

“Tapi mereka cocok loh,” ungkapku.

“Kayak kita,” ucap Pak Arkan.

Spontan aku melirik Pak Arkan, mencubit lengannya.

“Aduh, kenapa dicubit? Ucapan aku benar, kan?” tanyanya.

“Enggak usah gombal deh,” jawabku.

Aku berjalan menjauh dari Pak Arkan, sedangkan dia berusaha menjajarkan posisinya denganku. Kami berjalan menuju pesisir pantai sambil membawa barang-barang yang akan digunakan. Kedatangan kami di sambut oleh ombak kecil.

Aku bergegas meletakkan barang-barang dan melangkah menuju pantai untuk bermain air. Aku terpana melihat laut yang indah. Airnya biru dan banyak terumbu karang, pantai ini cukup terawat dibandingkan pantai yang pernah aku kunjungi saat studi tour sekolah.

“Lumayan jernih airnya,” kataku sambil menangkup air dengan kedua tangan.

“Jelas dong. Di sini warganya pandai menjaga kebersihan dan kalau ketahuan buang sampah sembarangan akan didenda atau kena sanksi sosial,” jawab Pak Arkan.

Dia berdiri di sampingku, kemudian merangkul bahuku. Aku memandangnya dan menyandarkan kepalaku di lengannya.

“Lebih seru kalau bawa anak-anak kita ke sini terus mereka bikin rumah-rumahan dari pasir,” kataku.

“Hmm, gimana kalau kita bikin anak di sini? Pasti lebih nikmat.”
Tiba-tiba Pak Arkan menggendongku dan membawaku menuju sebuah batu karang yang sangat besar.

“Mau ngapain?” tanyaku.

“Bikin anak,” jawabnya sambil membuka kancing celananya.

Aku menelan saliva, melihat ke sana ke mari untuk memastikan tidak ada orang yang melihatnya.

“Jangan takut, sayang. Sekalipun ada orang, ngga mungkin mereka melawan Arkan Dirgantara.” Ucapan Pak Arkan seolah mengetahui isi pikiranku.

“Tapi kalau ada yang lihat dan melaporkan kita bagaimana?” tanyaku.

“Pantai ini punya keluargaku dan mereka ngga mungkin berani melaporkan kita,” jawabnya.

Dia mencium bibirku dan memulai permainannya yang membuatku terasa panas. Aku menahan desah yang hendak keluar dari bibirku, tetapi dia justru mempercepat temponya hingga aku tidak kuasa menahan desah.

“Astagfirullah, Bang!” Tiba-tiba Gala muncul di dekat kami. Dia berteriak sambil menutup kedua matanya.

Mataku terbelalak dan mendorong Pak Arkan, sedangkan Pak Arkan mencengkeram tanganku dan kembali melanjutkannya meskipun Gala masih berdiri kaku di hadapan kami.

“Berhenti, Pak!” titahku.

“Tanggung sayang,” jawabnya.

Dia semakin mempercepat temponya membuatku tidak sanggup berkata-kata. Aku mencengkeram punggungnya hingga merasakan cairan hangat menembus rahimku.

Pak Arkan mengembuskan napas, kemudian mengecup keningku yang bercucuran keringat. Dia kembali memakai celananya dan duduk di sampingku sambil tersenyum bahagia.

“Terima kasih, sayang.” Dia mengusap rambutku yang basah dengan keringat, lalu dia memelukku dengan erat.

“Gila lo, Bang!” seru Gala sambil mendorong kepala Arkan.

“Kalau lo di posisi gue pasti kayak begitu juga,” sahut Arkan.

“Tapi ngga di tempat umum juga. Kalau ada anak kecil yang lihat gimana? Sinting banget otak lo,” ucap Gala.

Aku menyimak perdebatan mereka. Aku kehabisan tenaga untuk berbicara, sekujur tubuhku terasa nyeri serta perutku yang sedikit mual.

“Kamu baik-baik saja, sayang?” tanya Pak Arkan sambil menatapku.
Aku menggeleng, Pak Arkan menggendong dan membawaku menuju tempat peristirahatan kami.

“Diva kenapa?” tanya Dinda saat melihatku tidak berdaya.

Pak Arkan tidak menjawab, lalu membaringkan tubuhku di kursi.
“Digigit megalodon,” jawab Gala.

“Ha? Memang masih ada ya?” Dinda kembali bertanya sambil memberikan teh hangat padaku.

“Ada. Lo saja yang bego,” jawab Gala.

“Kita pulang ya? Kayaknya kondisi Diva enggak memungkinkan untuk jalan-jalan,” usul Pak Arkan.

“Hmm, iya deh. Ngga tega juga gue lihat Diva lemas kayak gitu,” jawab Dinda.

Pak Arkan kembali menggendongku dan berjalan menuju mobil, sedangkan Dinda serta Gala merapikan barang-barang lalu menyusul kami.

Sesampainya di depan mobil, Pak Arkan membaringkan tubuhku lalu masuk ke dalam. Setelah itu, Dinda dan Gala ikut masuk dan duduk di kursi masing-masing. Kemudian Pak Arkan menjalankan mobil dan pergi meninggalkan tempat tersebut.

“Kayaknya lo hamil deh, Div. Mending periksa ke dokter saja,” ujar Dinda.

“Gue setuju! Siapa tahu dalam perut lo ada dedek bayi,” sahut Gala.

Aku hanya diam dan memejamkan mata. Kepalaku berkunang-kunang dan rasa mual semakin bertambah, rasanya perutku penuh seperti ada isinya.

Love My Teacher [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang