Gala Diculik

233 12 0
                                    

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Sudah sebulan aku dan Pak Arkan hidup damai tanpa gangguan penggemar Pak Arkan di sekolah. Meskipun ada beberapa yang masih melontarkan ucapan pedas padaku, tapi setidaknya Kesya juga teman-temannya sudah dikeluarkan dari sekolah.

“Woi Diva!” Lusi memanggilku sambil melambai tangan. Aku hanya diam dan pura-pura tidak mendengarnya. Aku berjalan melewatinya, sedangkan dia mengikuti aku dari belakang.

“Sombong banget sih lo,” katanya sambil menyenggol bahuku.

Aku meliriknya sekilas, lalu melangkah memasuki kelas. Aku duduk di paling belakang karena ujian kenaikan kelas tengah dilaksanakan dan sialnya aku satu meja dengan Lusi.

“Gue mau ngomong sama lo,” katanya.

“Ngomong apa?” tanyaku tanpa menatap ke arahnya.

Dia duduk di sebelahku dan menggeser duduknya hingga hanya berjarak sejengkal denganku.

“Lo harus hati-hati,” tuturnya.

“Maksudnya?” tanyaku bingung.

“Devan mau balas dendam. Dia ngga terima adiknya dikeluarkan dari sekolah,” jawabnya.
Aku menghela napas, kemudian menggeser posisi dudukku serta menjauh dari Lusi.

“Kamu jangan menyebar fitnah,” ujarku.

Aku berusaha berpikir positif, tidak mau terpengaruh dengan ucapan Lusi. Bagaimanapun Lusi adalah pacar Devan dan bisa jadi Lusi hanya menjebak aku, dia berpura-pura baik untuk membantu pacarnya memata-matai aku dan Pak Arkan.

Aku menyiapkan alat tulis dan memasukkan ponsel ke dalam tas, ujian sebentar lagi dimulai dan pengawas akan memeriksa saku baju serta celana untuk memastikan tidak ada murid yang diam-diam menyembunyikan contekan atau ponsel dalam saku.

“Selamat pagi, anak-anak.” Pak Arkan menyapa sambil membawa amplop yang berisi lembaran soal.

“Selamat pagi juga, Pak.” Kami menyapa serempak.

”Sudah siap mengikuti ujian?” tanyanya sambil mengeluarkan lembaran tersebut.

“Belum,” jawab kami.

“Kalau belum siap, silakan keluar! Saya tidak menerima murid yang memakai contekan. Jika ketahuan menyontek, kertasnya akan saya bakar!” tegas Pak Arkan.
Pak Arkan membagikan lembaran ujian dan duduk di bangku pengawas. Ia memainkan laptop, tapi aku yakin matanya sedang mengintai anak-anak yang sering ketahuan menyontek saat ulangan harian. Aku terkekeh kecil melihat ekspresinya, ia tidak cocok menjadi guru apalagi pengawas.

“Permisi, Pak.” Gala berdiri di ambang pintu, lalu mendekati Pak Arkan yang memberikan tatapan maut kepadanya.

“Kenapa baru datang?” tanyanya dengan suara emosi.

“Saya ke cebur di got dekat sekolah, Pak. Ini buktinya seragam saya basah semua,” jawab Gala sambil menunjuk seragamnya yang basah dan kotor.

“Ngapain kamu mandi di sana? Memangnya di rumah ngga ada air?” tanya Pak Arkan.

“Ya namanya juga kecelakaan, Pak. Lagian kalau saya pulang dulu nanti kena omel sama Abang saya. Dia kalau marah seram sekelas banteng saja takut sama dia.” Jawaban Gala membuat seisi kelas tertawa terbahak-bahak. Pak Arkan menggebrak meja dan memukul meja menggunakan penggaris kayunya.

“Kenapa kalian ketawa? Ada yang lucu?” tanya Pak Arkan membuat kelas kembali hening.

“Hari ini kamu saya maafkan! Kalau besok terlambat lagi, saya suruh kamu kuras air laut!” seru Pak Arkan pada Gala.

Gala menerima kertas soalnya, lalu duduk di depanku. Kelas kembali hening dan Pak Arkan berkeliling supaya tidak ada murid yang menyontek. Setelah bel pulang berbunyi, aku bergegas memasukkan alat tulis dan menggendong ranselku. Aku melangkah menuju keluar dan menghampiri Pak Arkan yang sudah menunggu bersama Gala dan Dinda.

“Lama banget, Div. Gue yang telat saja cepat keluarnya,” kata Gala ketika aku sampai.

“Lo cepat karena ngasal,” sahutku.

“Kata siapa gue ngasal? Orang gue hitung kancing,” sahutnya lalu terkekeh.

“Jangan ditiru! Ini contoh orang dengan SDM rendah,” ujar Pak Arkan.

“Dih mentang-mentang pintar jadi sombong,” celetuk Gala.

Gala memonyongkan bibir dan jalan mendahului kami. Dia menaiki motornya, kemudian pergi meninggalkan parkiran sekolah. Aku dan Dinda saling melontarkan pandangan, kemudian tertawa melihat kelakuan Gala yang merajuk seperti anak kecil.

“Gue duluan ya,” kataku sambil menjauh dari Dinda.

“Hati-hati,” tutur Dinda.

Aku dan Pak Arkan masuk ke dalam mobil, lalu Pak Arkan menjalankan mobil dan meninggalkan sekolah. Aku menyandarkan kepala di kursi mobil, lalu menyetel musik untuk menghilangkan rasa jenuh.

“Gimana ujiannya? Lancar?” tanya Pak Arkan.

“Lancar sih tapi soalnya susah banget,” jawabku.

“Kalau mau gampang balik ke TK lagi. Tahun depan kamu sudah kelas dua belas, kan? Seharusnya kamu mempersiapkan diri untuk masuk kampus negeri,” ujar Pak Arkan mulai menceramahi aku layaknya guru.

“Aku ngga mau kuliah,” ungkapku jujur.

“Kenapa?” tanyanya, lalu memandangku sejenak.

“Saya mau memenuhi tugas sama sebagai istri. Lagi pula saya sudah punya bapak, suami yang bertanggung jawab dan saya yakin meskipun saya ngga lanjut kuliah tapi anak-anak kita bisa cerdas seperti Papanya,” jawabku.

“Jadi kamu mau bergantung sama saya?” tanya Pak Arkan. Dan aku mengangguk.

“Tidak bisa, kamu harus kuliah!” serunya.

Aku mengerutkan alis dan memandangnya dengan ekspresi bingung.

“Kenapa? Biasanya laki-laki tidak mendukung wanita pendidikan tinggi,” tanyaku.

“Kalau saya meninggal, bagaimana? Saya tidak mau anak-anak saya malas belajar karena tidak mendapatkan peran guru dari orang tuanya,” tutur Pak Arkan.

“Maksudnya?” Aku kembali bertanya, tidak mengerti ucapan Pak Arkan.

“Tingkat kerajinan anak dalam belajar juga dipengaruhi oleh orang tuanya. Kalau orang tuanya gagal dalam pendidikan, bagaimana anaknya bisa termotivasi? Dan Ibu sangat berperan penting dalam hal itu jadi saya mau kamu kuliah,” kata Pak Arkan.

Aku menghela napas, lalu memandang ke kaca jendela. Tiba-tiba Pak Arkan meraih tanganku dan menggenggam jari-jemariku.

“Saya sayang sama kamu dan saya mau menaikkan derajat kamu. Tolong ikuti keinginan saya karena ini demi masa depan kita,” tuturnya.

Aku terdiam, tidak mau berkata apa-apa. Aku bingung kenapa Pak Arkan selalu mengaitkan semuanya dengan kematian dan ucapannya seolah-olah ingin meninggalkanku untuk selamanya.

Apa ada sesuatu yang dia sembunyikan? Jika iya, kenapa dia tega menyembunyikannya?

Sesampainya di pekarangan rumah, Pak Arkan memberhentikan mobilnya lalu membuka pintu mobil untukku. Aku keluar dan berjalan mendahuluinya, entah kenapa sikapnya berbeda—tidak seperti biasanya. Dia tidak berusaha mengejar atau menahan langkahku. Aku membuka pintu dan masuk ke dalam. Rumah terlihat sepi, sepertinya Gala belum pulang ke rumah.

“Kamu mau makan apa?” tanyaku.
Aku berbalik dan memandang Pak Arkan yang berjarak beberapa langkah denganku. Dia diam dan mendekatiku perlahan.

“Aku mau makan kamu,” katanya.
Dia menarik tanganku dan membuatku terjatuh ke dalam pelukannya, kemudian dia menggendong dan membawaku menuju kamar. Sesampainya di kamar, dia membanting tubuhku dan langsung mengunci tubuhku. Dia berada di atas tubuhku, dan aku dapat mencium aroma tubuhnya yang membuatku mabuk.
Aku mengukir senyuman, lalu mengalungkan tanganku di lehernya.

“Aku pikir kamu sudah ngga cinta sama aku,” ungkapku.

“Dalam setiap hubungan pasti ada rasa bosan dan kita harus cari cara untuk mengakali kebosanan itu. Bukan ganti orangnya karena rasa bosan selalu ada. Hanya manusia terpilih yang tidak tergoda oleh rasa bosan,” tuturnya.

Dia mengusap pipiku, lalu menyatukan bibir kami. Aku menerima setiap sentuhan yang dia berikan dan perlahan dia membuka pakaianku hingga tidak tersisa sehelai pun.

Pak Arkan hendak memulai permainannya. Tiba-tiba ponsel berdering. Spontan aku mendorong Pak Arkan dan mencari sumber suara yang berasal dari saku celana Pak Arkan.

“Jawab dulu,” titahku.

“Ngga mau,” tolaknya.

“Kalau penting gimana?” tanyaku.

Akhirnya Pak Arkan mengalah. Dia menjawab telepon tersebut.

“Halo, siapa ini? Ganggu saja!” tanya Pak Arkan sambil menggerutu.

“Halo, Arkan Dirgantara. Apa kabar?” tanyanya. Suaranya terdengar sangat familier di telingaku.

“Siapa kamu? Dapat nomor saya dari siapa?” tanya Pak Arkan. Wajahnya mulai menegang.

“Ngga penting siapa gue. Kalau lo mau adik lo selamat, temui gue di markas Skylark sekarang! Kalau ngga, gue cincang adik lo!” ancamnya.

Telepon terputus. Pak Arkan langsung membanting ponselnya dan beranjak dari kasur, dia membuka lemari lalu mengambil sebuah jaket yang bertuliskan ARGALA GENG.

“Kamu mau ke sana sendiri? Gimana kalau kamu terluka?” tanyaku.

“Aku bersama teman-temanku. Kamu diam di rumah dan jangan keluar sebelum aku kembali!” titahnya tanpa melihatku sedikit pun.

“Aku mau ikut!” seruku.

Aku menarik tangannya dan menghentikan langkah kakinya. Dia berbalik, lalu memandangku.

“Terlalu bahaya kalau kamu ikut,” katanya.

“Kalau begitu kamu juga dalam bahaya. Aku ngga mau kamu terluka! Aku sayang sama kamu dan aku ngga mau kehilangan kamu,” sahutku.
Kami saling melontarkan pandangan. Mataku berkaca-kaca, sedangkan dia langsung menghela napas dan berjalan menjauh dariku.

“Kamu boleh ikut tapi tunggu di tempat yang aman. Jangan masuk ke dalam karena terlalu berbahaya,” ujarnya.

Aku mengangguk, lalu menyusulnya dengan langkah semangat. Sebenarnya aku tidak pernah terlibat dalam kelompok geng motor meskipun Devan adalah mantanku tapi aku tidak mau ikut dalam pergaulan bebasnya.

Aku menaiki motor dan duduk di boncengan Pak Arkan, kemudian Pak Arkan menjalankan motornya dan pergi dari pekarangan rumah.

Di tengah perjalanan, ada beberapa pemotor yang mengikuti kami. Mereka memakai jaket yang serupa dengan Pak Arkan, dan tampaknya mereka akan membantu menyelamatkan Gala.

Setelah satu jam menempuh perjalanan akhirnya, tiba di depan rumah yang tertutup oleh spanduk besar bertuliskan Skylark Geng.

“Kamu jangan ke mana-mana atau masuk ke dalam!” ujar Pak Arkan sambil melepas helm.

“Iya sayang,” jawabku.

Aku duduk di bawah pohon rindang, sedangkan Pak Arkan masuk ke dalam bersama pasukannya yang berjumlah cukup banyak. Aku memainkan ponsel berusaha menghubungi Dinda. Tiba-tiba seseorang berdiri di hadapanku sambil membawa tongkat bisbol.

“Apa kabar, sayang?” tanyanya.
Aku terkejut dan langsung berdiri ketika melihat Devan berada tepat di depan mataku.

“Mau ngapain kamu?” tanyaku sambil memundurkan langkah.

“Aku kangen sama kamu, sayang.” Dia tersenyum, namun senyumannya begitu menakutkan membuat bulu kudukku meremang. Aku menelan saliva dan melangkah menjauh dari Devan. Namun, dia mendekatiku dan mendorongku hingga ke dekat tembok.

“Hebat ya, kamu bisa dapatkan pria yang di atas aku.” Dia mengunci pergelangan tanganku dan mengangkat kedua tanganku ke atas.

“Berarti sekarang kamu sudah ngga perawan dong?” tanyanya.

“Kalau kamu berani macam-macam, aku bunuh kamu!” ancamku.

“Uh takut. Tapi sayangnya kamu sudah rusak, kan? Jadi ngga bakal ketahuan kalau aku menyentuh kamu,” katanya. Dia mengukir senyuman licik dan menyelinap ke dalam celanaku.

“Menjauh!” seruku.

Aku menendang perutnya dan berlari masuk ke dalam. Aku berusaha mencari Pak Arkan tetapi terlalu banyak orang yang tengah ribut di dalam. Aku bersembunyi di antara mereka, sedangkan Devan berusaha mengejar dan mencari keberadaan aku.


Love My Teacher [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang