Bel masuk berbunyi, para siswa dan siswi masuk ke dalam kelas dan duduk di tempatnya masing-masing.
“Gue udah cantik belum?” tanya Lusi.
“Udah,” jawab temannya.
Aku tidak satu geng dengan mereka. Lebih tepatnya aku yang tidak mau masuk circle karena menurutku, kita bebas berteman dengan siapa pun dan kehadiran circle terkadang bawa pengaruh buruk seperti bolos sekolah bersama atau menghina murid yang tidak satu circle dengan mereka.
“Semoga Pak Arkan terpesona sama kecantikan gue,” ucap Lusi.
Lusi mengibaskan rambut, lalu memoles wajah dengan bedak. Aku menahan tawa melihat kelakuannya untuk menarik perhatian Pak Arkan. Bagaimana jika dia tahu kalau aku calon istri Pak Arkan? Bisa-bisa dia jantungan setelah mengetahuinya.
“Selamat pagi,” sapa Pak Arkan dengan senyuman tipis di bibirnya.
“Selamat pagi juga, Pak.” Kami menjawab serempak.
Pak Arkan duduk di kursi guru, tatapan Pak Arkan tertuju padaku.
“Saya akan periksa pr kalian. Dimulai dari Diva,” kata Pak Arkan.
Aku beranjak dari tempat duduk dan berjalan menuju meja Pak Arkan. Aku meletakkan buku di atas meja, lalu kembali ke tempat duduk. Meskipun Pak Arkan berstatus sebagai calon suamiku, kami tetap profesional.
Setelah aku duduk, giliran Lusi yang menaruh buku tugasnya di meja Pak Arkan. Namun, Lusi berdiri di depan Pak Arkan dan mengibaskan rambut.
“Hai bapak, apa kabar? Bapak makin ganteng aja sih. Saya jadi makin suka deh,” kata Lusi dengan manja.
“Calon istri saya yang buat saya semakin ganteng. Dia buat saya peduli sama penampilan,” jawab Pak Arkan.
“Emang calon istri bapak secantik apa sih? Sampai dipuji-puji terus. Bapak nggak pengen cinta lokasi sama siswinya? Biar kayak di novel dari guru jadi suami,” kata Lusi.
“Dia cantik banget jadi saya nggak perlu cari lagi,” jawab Pak Arkan.
Lusi terbungkam, ia kembali ke tempat duduknya dengan bibir monyong sepuluh centimeter. Aku terkekeh kecil karena Lusi gagal goda Pak Arkan untuk sekian kalinya.
Pak Arkan kembali menjalankan kewajiban sebagai guru. Aku memusatkan fokusku pada materi pelajaran meskipun sesekali aku beradu tatapan dengan bola mata indah milik Pak Arkan.
Setelah dua jam berlalu, jam istirahat berbunyi. Semua murid keluar kelas dan menuju kantin sekolah.
Aku membereskan buku, lalu ambil kotak bekal aku. Seperti biasa aku akan memakannya bersama Dinda.
“Kamu bawa bekal lagi?” tanya Pak Arkan. Dia sengaja keluar lebih lama agar bisa mengajakku mengobrol tanpa diganggu oleh penggemarnya.
Aku mengangguk, lalu menyodorkan kotak bekal pada Pak Arkan.
“Ambil aja kalau bapak mau. Saya nggak keberatan,” tuturku.
Pak Arkan tersenyum, kemudian mencicipi nasi goreng buatanku. Aku melihat perubahan wajah Pak Arkan setelah memakan nasi goreng.
“Keasinan ya, Pak?” tanyaku.
“Iya,” jawab Pak Arkan.
“Maaf ya, Pak. Saya emang suka masak pake air laut,” kataku asal.
“Nggak papa. Lagian kalau makanan keasinan artinya orang yang masak itu mau nikah,” ungkap Pak Arkan.
“Ah, saya mau nikah sama siapa? Bapak jangan ngaco deh!” bantahku.
“Sama saya. Kamu lupa ya? Hayo, masa calon suami sendiri dilupain.” Pak Arkan mengerucutkan bibirnya hingga maju lima centi.
“Ya maaf. Namanya juga lupa,” sahutku.
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, Pak Arkan membalasnya dengan gelengan kepala.
“Yaudah, saya ke ruang guru dulu. Kamu hati-hati kalau ada cowok yang godain bilang saya biar saya potong batangnya!” seru Pak Arkan.
“Dih, kayak bisa aja,” ucapku.
“Jangan salah, gini-gini saya mantan calon Akpol!” seru Pak Arkan.
“Baru calon,” jawabku.
Pak Arkan melengos dan berjalan keluar kelas. Aku tertawa melihat tingkahnya yang seperti anak kecil, sikap Pak Arkan tidak mencerminkan usianya yang tujuh tahun lebih tua.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love My Teacher [END]
Fiksi RemajaAdiva Putri Ivana, siswi kelas XI yang menyimpan kemalangan dalam hidupnya. Adiva harus merawat Ibunya yang lumpuh, sedangkan Ayahnya kabur bersama janda setelah Ibunya divonis lumpuh seumur hidup oleh dokter. Adiva terpaksa bekerja untuk memenuhi k...