Bel pulang berbunyi.
Aku merapikan alat tulis dan memasukannya ke dalam tas, kemudian aku menyambar ransel dan berjalan meninggalkan kelas.
Aku melihat Dinda berdiri di tiang pendopo, dia melambaikan tangan dan menyuruhku mendekatinya.
“Kenapa?” tanyaku lesu.
Pelajaran matematika dan kimia membuat otakku panas seolah ingin meledak, aku benci rumus dan nama senyawa. Aku lebih menyukai pelajaran bahasa Indonesia.
“Kita pergi ke mal yuk. Gue yang bayar,” ajak Dinda.
Aku mengembuskan napas berat, tenagaku hampir habis karena dua pelajaran mematikan. Ditambah Pak Arkan memberikan banyak tugas membuat otakku semakin panas.
“Hari ini gue mau lamar kerja kalau mau pas hari libur aja biar lebih puas jalan-jalannya,” saranku.
“Lo mau lamar kerja di mana? Emang ada kantor yang terima anak sekolah?” tanya Dinda.
“Gue lamar kerja jadi pembantu. Semoga diterima supaya gue punya penghasilan tetap,” jawabku.
“Aamiin. Pokoknya inget pesan gue, semiskin-miskinnya lo jangan sampai jual diri apalagi ke suami orang. Mending cari duda kaya,” ujar Dinda.
“Gue masih waras kali,” ucapku.
“Gue masih waras kali,” ucapku.
Aku berjalan menuju pintu gerbang, Dinda mengikuti langkah dan menjajarkan posisinya denganku.
“Lo pulang naik apa?” tanya Dinda.
“Naik getek.” Aku menjawab asal.
“Gue serius! Lo pulang naik apa?” Dinda kembali bertanya. Kali ini wajahnya terlihat serius.
“Naik angkot. Mau minta antar tapi gue nggak punya pacar,” jawabku.
“Lo pulang bareng gue aja.”
Tanpa meminta persetujuan dariku, Dinda menarik tangan dan membawaku menuju mobilnya. Dinda membukakan pintu untukku, lalu memaksaku masuk. Mau tak mau aku mengikuti perintah Dinda dan duduk di samping kursi pengemudi.
“Din, lo balikan lagi?” tanyaku.
“Nggak tapi gue bingung. Gue masih cinta tapi dia selalu sepelekan hubungan kita,” jawab Dinda.
Dinda melirik aku, kemudian dia kembali fokus menyetir mobilnya. Aku merasa kasihan dengan Dinda yang terjebak dalam hubungan toxic. Dulu aku pernah mengalaminya tapi aku memilih mundur demi kebahagiaan dan ketenangan hidup.
“Saran gue, lo putusin aja. Baru pacaran tapi udah sering selingkuh, gimana kalau udah nikah? Bisa-bisa nanti kayak Ayah gue,” ujarku.
“Pengennya sih gitu tapi gue belum ketemu sama cowok yang lebih ganteng dari dia,” sahut Dinda.
Aku terdiam dan suasana pun terasa hening untuk beberapa saat. Aku bingung mau menjawab apa karena tipe ideal Dinda sama sepertiku. Dia mencintai pria yang susah digapai, contohnya cowok fiksi.
“Tapi kata Papa, gue mau dijodohin.”
Ucapan Dinda memecahkan keheningan, aku meliriknya dengan mulut ternganga karena terkejut mendengar ucapan Dinda.“Mau dijodohin sama siapa? Masih jaman jodoh-jodohan?” tanyaku.
“Nggak tahu tapi katanya dia anak sahabat Papa dan usianya jauh lebih tua dari gue. Kalo gue nikah sama dia pasti hidup gue bahagia karena dia udah dewasa jadi pemikirannya matang,” jawab Dinda menjelaskan.
“Usia nggak bisa jadi tolak ukur kedewasaan seseorang. Ada yang udah tua tapi masih kayak bocil kematian jadi saran gue mending lo pikir-pikir dulu,” saranku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love My Teacher [END]
Roman pour AdolescentsAdiva Putri Ivana, siswi kelas XI yang menyimpan kemalangan dalam hidupnya. Adiva harus merawat Ibunya yang lumpuh, sedangkan Ayahnya kabur bersama janda setelah Ibunya divonis lumpuh seumur hidup oleh dokter. Adiva terpaksa bekerja untuk memenuhi k...