empat: fight, money, meet up

948 48 1
                                    

Bugh! Bugh! Bugh bugh

BUGH!

Sebuah samsak tinju dipukul sekuat tenaga. Pelepasan emosi seorang pemuda bertubuh jangkung yang sedang gundah gulana karena alasan sederhana: tidak bisa melihat pujaan hatinya di layar kaca. Masalahnya, hal ini tidak bisa ia ceritakan pada siapapun, bahkan sahabatnya sendiri, karena ia pasti akan dimaki habis-habisan.

Rahangnya mengeras sementara urat-urat di wajah tampak menonjol, wajahnya jadi terlihat seram, seolah siap menelan siapapun yang membuatnya kesal.

Tap.

Ketika tangan seseorang menepuk pundaknya, alih-alih memberikan pukulan ke arah penepuk, ia malah tersenyum lebar. Berbeda dari ekspresinya beberapa detik lalu.

"Jangan keras-keras latihannya, kalo lo cedera, gue yang repot, ga ada yang bisa gantiin lo."

Tahu bahwa tindakannya salah, Dokyeom nyengir semakin lebar, ia lantas melepaskan sarung tinjunya dan langsung mengambil air yang baru saja diberikan oleh Jun, pelatihnya yang juga orang yang memperkenalkannya pada street boxing. Diteguknya air itu banyak-banyak sebelum berteriak keras, memuaskan dahaga beserta amarahnya.

"HAHHH!"

Meregangkan otot-otot leher dan tangannya, pria itu kemudian duduk di pinggir tembok, mengatur nafasnya yang tak beraturan.

"Lagi ada masalah?" Jun akhirnya buka suara.

"Biasa, romansa remaja."

"Cih," Jun menoyor pelan kepala Dokyeom dan tertawa.

Dokyeom ikut tertawa, lantas memeluk lututnya, "Hari Jumat, gue coba ikut sparingnya, tapi... kali ini gue mau menang, dan harus menang."

Dari ekspresinya yang tenang, Jun tahu bahwa Dokyeom serius, entah uang kemenangannya akan ia gunakan untuk apa. Tapi satu hal yang ia tahu, tekad anak ini sudah bulat.

↫ pockyjeruk ↬

TWO SIDES, SAME COIN
empat: fight, money, meet up

↫ pockyjeruk ↬

Dokyeom hampir tidak percaya bahwa ia merelakan sebagian besar uang kemenangan street boxing-nya hanya untuk bertemu dengan seorang pria yang bahkan belum pernah ia kenal sama sekali. Bisa saja meskipun wajahnya manis–setidaknya itu yang ia yakini meski wajah sang streamer tertutup topeng, pria itu akan menjarahnya, mengambil harta bendanya, kemudian besok ia menjadi headline berita karena menjadi korban perampokan.

Lalu ditertawakan oleh Mingyu, atau minimal dikatai bodoh oleh Mingyu.

Daripada nyawanya sendiri, Dokyeom malah lebih memikirkan apa yang akan dikatakan oleh Mingyu. Konyol.

Cklek.

Dibukanya pintu sebuah kamar yang berada di lantai dua, tepat di ujung lorong hotel, bernomor 210. Tempat strategis untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan berdua; seperti bermain papan, menyusun puzzle, minum coklat panas, bermain tic tac toe–yah begitulah.

Dokyeom sudah pasrah saat melihat jam menunjukkan hampir pukul dua pagi. Si kelinci berjanji, ia akan datang selambatnya pukul tiga pagi. Jam biasanya ia memulai siaran. Ibu jarinya bergulir di atas layar, membaca cuitan-cuitan di sebuah aplikasi yang tadinya berlogo biru, kini menjadi hitam. Pada bagian atas pencariannya, tertulis sebuah kalimat: cara sopan memulai sex dengan pria sewaan.

Puas menggulir jemarinya di sana, sang adam membenarkan kemeja putihnya; lantas menggunakan jam tangan termahal di pergelangan tangan kirinya–hadiah ketika bertambah usia, dua tahun silam. Setidaknya jam itu cukup untuk membuat penampilannya tidak seperti anak magang di minimarket karena memakai setelan putih hitam.

Two Sides, Same Coin [SEOKSOO AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang