lima: is it destiny?

792 45 3
                                    

Sejak tadi, Shua tidak berhenti melamun sambil menyuapi Jeonghan. Pipinya bersemu merah sementara tangannya mengaduk-aduk bubur dari mangkuk yang ada di tangannya. Tangannya yang lain meremas ujung lengan bajunya yang menutupi sampai ke telapak tangan. Ia tak ubahnya seperti remaja yang sedang kasmaran meski sebentar lagi akan berkepala tiga.

"Shua, kalo lo cuma mau aduk-aduk buburnya aja, gue kayaknya bakal kenyang sama angin."

Tersadar dari lamunannya setelah mendengar ucapan Jeonghan, Shua tidak menjawab, ia hanya tersenyum sampai matanya menyipit. Meniup pelan bubur pada mangkuk, ia kemudian menyuapi Jeonghan lagi.

Dadanya masih berdebar-debar usai pertemuan dengan Daddy Kim-nya. Tidak ia sangka, ia adalah pria muda yang tampan dengan hidungnya yang mancung dan senyumnya yang hangat. Jujur saja itu pertama kalinya Shua merasa disambut, diterima, dan disayangi hanya karena memperhatikan wajah seseorang dan direngkuh oleh jemari panjangnya.

"Lo lagi jatuh cinta, ya, Shua?"

Ditanya begitu, Shua malah jadi salah tingkah seperti remaja baru puber. Segera digelengkannya kepala dan langsung meniup-niup lagi bubur untuk Jeonghan makan.

"Shua, kita tuh kembar, apa yang lo rasain, pasti sedikit gue rasain juga. Lo gak pernah seseneng ini sebelumnya. Kalau bukan karena jatuh cinta, lo menang lotre?"

Keduanya. Sebenarnya keduanya. Ia sekarang punya uang untuk membawa Jeonghan terapi dan seseorang untuk dikagumi.

Meski itu hanya satu malam saja. Tidak lebih.

"Shua, ayo cerita, ih!"

↫ pockyjeruk ↬

TWO SIDES, SAME COIN
lima: is it destiny?

↫ pockyjeruk ↬

Main HP sudah, ngelamun sudah, baca koran pinjaman dari kakek yang tempat tidurnya berada di sebelahnya juga sudah. Jeonghan sudah selangkah lagi menuju ke mengisi TTS di koran karena begitu bosan. Ia akhirnya menekan tombol untuk memanggil perawat karena Shua tidak kunjung datang meski jam menunjukkan hampir pukul delapan.

Biasanya Shua datang di jam lima pagi, tepat setelah shift-nya di karaoke selesai.

"Ada yang bisa saya bantu?" seorang perawat membuka tirai penutup tempat tidur Jeonghan, tersenyum ramah.

"Saya bosan, Sus. Boleh ga, saya jalan-jalan? Atau ke taman, gitu? Saya kayaknya ga perlu kursi roda, cuma perlu diantar aja, takutnya saya oleng. Hehe..." tersenyum lebar, Jeonghan memang sudah mengenal beberapa dokter dan perawat di sini karena kegiatannya untuk terapi setiap satu bulan sekali.

Perawat tadi hanya geleng-geleng, kemudian membuka lebar tirai penutup kamar Jeonghan. Daripada anak ini mulai memasang lagu berisik di dalam ruangan seperti beberapa bulan lalu, ada baiknya keinginannya dikabulkan.

Memastikan infus terpasang dengan baik dan keadaan Jeonghan memungkinkan untuk berjalan-jalan di taman, akhirnya ia turunkan side rail di sebelah kanan. Jeonghan tersenyum puas dan langsung mengubah posisi duduknya menuju ke sana. Satu tangannya ia gunakan untuk memegang tiang infus sementara kakinya perlahan-lahan menapak di atas sandal karet yang sudah Shua bawa kemarin, jaga-jaga kalau Jeonghan perlu bulak balik ke toilet.

"Terima kasih, Suster cantik dan baik hati," melangkah dengan menyeret kakinya, Jeonghan berjalan perlahan menuju ke arah luar kamar rawatnya yang berada di bangsal kelas tiga. Melewati beberapa pasien sebelum akhirnya tiba di depan ruang bangsal.

Ia bisa melihat raut wajah kelelahan beberapa perawat yang sebentar lagi akan menyelesaikan shift malam mereka. Tangannya mendorong perlahan tiang infus, sementara perawat yang tadi ia mintai tolong, berjaga di sampingnya, kalau-kalau Jeonghan lemas atau tersandung.

Two Sides, Same Coin [SEOKSOO AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang