Agung duduk di sofa di ruang tamu apartemen Sheila, matanya terfokus pada wajah Sheila yang duduk di seberangnya. Dia merasa bertanggung jawab untuk memahami lebih dalam kehidupan dan pengalaman Sheila, agar dia bisa memberikan perlindungan yang sesuai dan membantunya dengan lebih baik.
"Dapatkah kamu ceritakan sedikit tentang keluargamu, Sheila?" tanya Agung dengan lembut, mencoba memulai percakapan dengan penuh kehati-hatian.
Sheila menatap Agung dengan ekspresi ragu sebelum akhirnya mengangguk. "Tentu, Kak Agung. Ibuku meninggal ketika aku masih kecil. Dia adalah sosok yang sangat hangat dan penyayang. Kami memiliki hubungan yang sangat dekat, dan dia selalu menjadi sumber kebahagiaan dalam hidupku."
Agung mengangguk paham, memberikan Sheila kesempatan untuk melanjutkan.
"Setelah kematian ibuku, aku tinggal bersama pamanku," lanjut Sheila dengan sedikit gemetar. "Paman adalah orang yang baik, dia selalu merawatku dengan penuh kasih sayang. Namun, kehilangannya besar sangatlah meninggalkan lubang yang besar dalam hidupku."
Agung mencatat setiap kata yang diucapkan Sheila, mencoba membayangkan bagaimana kehidupannya terbentuk dari cerita yang dia dengar. Dia memperhatikan bahasa tubuh Sheila, mencari tanda-tanda emosi yang mungkin muncul saat dia bercerita.
"Mungkin kamu bisa memberitahuku lebih banyak tentang keluargamu," saran Agung, mencoba memperdalam pemahamannya tentang latar belakang Sheila.
Sheila mengangguk, merenung sejenak sebelum melanjutkan. "Selain ibu dan paman, aku tidak terlalu dekat dengan anggota keluarga lainnya. Keluarga kami tidak begitu besar, jadi hubungan kami terutama hanya dengan keluarga inti."
Agung mengangguk memahami, mencatat setiap detail yang diberikan Sheila. Dia menyadari bahwa proses ini memerlukan kehati-hatian dan empati, karena Sheila mungkin merasa rentan saat membuka diri tentang masa lalunya.
"Masa kecilmu bersama ibumu terdengar indah," kata Agung dengan suara lembut. "Bagaimana kamu bisa menjaga kenangan tentangnya tetap hidup dalam pikiranmu?"
Sheila tersenyum tipis, terlihat terharu oleh pertanyaan itu. "Aku selalu memikirkan momen-momen bahagia yang kami habiskan bersama. Dan meskipun dia sudah tiada, aku yakin bahwa cinta dan kasih sayangnya masih bersamaku setiap hari."
Agung tersenyum mengerti, merasa terharu oleh keteguhan dan ketulusan Sheila. Dia merasa semakin dekat dengan Sheila saat mereka berbagi momen intim seperti ini.
Percakapan berlanjut dengan Agung bertanya lebih dalam tentang masa kecil Sheila, pertumbuhannya, dan pengalaman-pengalaman hidup yang telah membentuknya menjadi orang yang dia kenal saat ini. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian saat Sheila bercerita, menghargai setiap kata yang diucapkannya.
Saat percakapan berlanjut, Agung merasa bahwa hubungan mereka semakin kuat. Dia menyadari betapa pentingnya mendengarkan dengan penuh perhatian dan empati, terutama ketika berurusan dengan orang-orang yang sedang mengalami kesulitan atau trauma.
Setelah beberapa waktu, Sheila mulai merasa lebih nyaman berbicara dengan Agung. Dia merasa lega bisa membuka hatinya kepada seseorang yang dia anggap sebagai teman dan pelindung. Dan Agung, di sisi lain, merasa bangga bisa menjadi bagian dari proses penyembuhan dan pertumbuhan Sheila.
Dengan berbagi cerita dan pengalaman, Agung dan Sheila semakin dekat satu sama lain. Mereka mulai membangun hubungan yang kokoh berdasarkan saling pengertian, dukungan, dan kepercayaan. Dan meskipun tantangan-tantangan mungkin masih menunggu di depan, mereka tahu bahwa bersama-sama, mereka bisa menghadapinya dengan lebih kuat.
"Aku selalu merasa nyaman dengan pamanku," ucap Sheila dengan nada sayu. "Tapi sekarang, semua terasa berbeda tanpa kehadirannya."
Agung mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa sedih melihat Sheila merenungkan masa lalunya yang penuh dengan kesedihan dan kehilangan. Dia ingin memberinya dukungan dan kekuatan untuk menghadapi masa depannya dengan kepala tegak dan hati yang kuat.
Beberapa hari kemudian, setelah dua minggu berduka atas kematian pamannya, Sheila akhirnya kembali ke rumah pamannya. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatian Agung, ada satu ruangan yang selalu terkunci dan tidak boleh dimasuki oleh siapa pun, bahkan Sheila sendiri. Pamannya selalu sangat menjaga ruangan itu dengan ketat, dan Sheila tidak pernah tahu apa yang ada di dalamnya.
Suatu malam, ketika rumah sepi dan sunyi, Sheila memutuskan untuk memasukkan Agung ke dalam rumah dan membawanya ke ruangan tersebut. Mereka berdua menyelinap masuk dengan hati-hati, memastikan bahwa tidak ada yang melihat atau mendengar mereka.
"Di sini tempatnya," bisik Sheila sambil membuka pintu dengan hati-hati. Mereka memasuki ruangan itu dan menyalakan lampu, menerangi ruangan yang gelap dan terabaikan.
Di tengah-tengah ruangan, terdapat sebuah peti tua yang terbungkus debu. Sheila membuka peti itu dengan gemetar, tak sabar untuk melihat apa yang ada di dalamnya. Ketika dia membuka tutup peti itu, dia menemukan sesuatu yang menggetarkan hatinya: sebuah diary tua yang dulu milik ibunya, bersama dengan sejumlah foto masa lalu.
Sheila merasa emosinya berkecamuk saat dia melihat foto-foto itu. Ada foto-foto dirinya ketika masih bayi, bersama dengan ibunya yang tersenyum bahagia. Namun, ada juga foto-foto lain yang membuatnya bingung: seorang pria dengan wajah buram yang tidak dikenal baginya.
"Mungkin itu ayahmu," ucap Agung dengan lembut, mencoba menawarkan sedikit kejelasan atas kebingungan Sheila.
Sebelum mereka bisa memperdalam pembicaraan mereka, terdengar suara langkah kaki di luar ruangan. Sheila dan Agung langsung berbalik dan bersembunyi di balik tembok, menahan nafas mereka. Mereka tidak punya pilihan selain bersembunyi dan menunggu sampai bahaya berlalu.
Saat mereka bersembunyi di balik tembok, detak jantung mereka berdua berdegup kencang, mengisi ruangan dengan suara yang keras di telinga mereka sendiri. Sheila merasa jantungnya berdetak begitu kencang sehingga hampir terdengar oleh orang-orang di luar sana. Matanya bertemu dengan mata Agung, dan dia bisa merasakan ketegangan yang sama melanda keduanya.
Dengan napas tersengal-sengal, mereka menahan diri untuk tidak membuat suara sedikit pun yang bisa mengkhawatirkan. Mereka saling berpegangan erat, merasa kehangatan tubuh satu sama lain di tengah dinginnya situasi yang mereka hadapi.
Setiap detik terasa seperti keabadian, dan mereka merasa seperti tidak ada akhirnya. Namun, akhirnya, suara langkah kaki yang menakutkan itu menghilang, meninggalkan mereka dalam keheningan yang tegang.
Mereka berdua melepaskan napas lega, namun ada kilatan emosi yang tidak bisa mereka singkirkan. Sheila menatap Agung dengan mata yang penuh dengan rasa syukur dan apresiasi. Dalam momen ketegangan itu, mereka menyadari betapa pentingnya kehadiran satu sama lain dalam hidup mereka.
Agung, sambil menatap Sheila dengan penuh kehangatan, meraih tangannya dengan lembut. "Kamu baik-baik saja?" bisiknya dengan suara yang lembut.
Sheila mengangguk, senyum lembut melintas di wajahnya. "Iya, berkat kak Agung," jawabnya dengan suara yang hampir penuh dengan rasa terima kasih.
Dalam momen yang menegangkan itu, mereka merasa semakin dekat satu sama lain, menyadari bahwa bersama-sama, mereka bisa mengatasi segala rintangan yang menghadang mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luc(k)ursed Sheila [Completed]
Roman d'amourTerkadang bertahan hidup tidak terasa beruntung. Terutama ketika Anda satu-satunya yang selamat... Enam belas tahun yang lalu. Pada usia tujuh tahun, Sheila selamat dari rubuhnya sebuah hotel mewah yang menewaskan ratusan orang-termasuk ibunya. Keti...