5

3 3 0
                                    

Maya tergesa menuruni tangga flat. Liftnya masih rusak sehingga membuatnya harus olahraga pagi menuju lobi. Banyak orang berkerumun di luar, lampu merah-biru mobil polisi dan ambulans berkelap-kelip di pinggir jalan.

"Maaf, ada apa ini?" Maya heran melihat pemandangan seperti itu pagi-pagi begini, firasatnya tidak enak.

"Matt meninggal!" seru seorang wanita paruh baya yang tinggal di lantai dua.

"Matt penjaga flat?" Maya membelalak.

"Ya, ia ditemukan tadi oleh Nyonya Hubert waktu beliau mendatangi kamar Matt untuk komplen masalah toilet mampat di kamarnya, tapi tidak ada jawaban. Lalu ia minta tolong Tuan Jones untuk memeriksa kamar Matt karena terdengar suara TV dari dalam kamar. Begitu dibuka, Matt sudah tidak bernyawa."

"Apa dia diserang seseorang?" Lelaki botak yang tinggal di lantai satu berjarak enam kamar dengan Matt bertanya.

"Petugas medis bilang dia kena serangan jantung," timpal seorang karyawati yang kamarnya tepat di bawah kamar Maya.

"Ya Tuhan, padahal tadi malam ia masih sibuk membersihkan toilet dan terlihat ceria." Maya bergidik, tak menyangka akan ada berita duka di kompleks flatnya.

"Semoga ia beristirahat dengan damai," ujar wanita paruh baya tadi begitu jenazah Matt dibawa masuk ke dalam ambulans. Para penghuni flat itu pun membubarkan diri begitu polisi dan ambulans meninggalkan flat.

Di kereta, Maya berkali-kali membenturkan kepalanya ke jendela dan meringis karena ulahnya itu. Dirinya masih merasa tidak enak hati karena tertidur di saat Darren sedang berbicara dan ia baru terbangun sekitar pukul lima subuh. Kepanikan membuatnya langsung mengirim pesan meminta maaf, dan hanya muncul tanda centang satu. Di saat kesadarannya sudah terkumpul semua, baru ia menyadari bahwa Darren pasti sedang berada di pesawat menuju Belgia. Hal lain yang membuat Maya masih tidak tenang adalah, ternyata ada satu pesan dari Darren di atas pesannya yang dikirim tak lama setelah ia tertidur.

["Kau harus membayar waktuku karena tertidur. Lihat saja nanti!"] Itu isi pesan yang menyebabkan kepala Maya sekarang jadi korban jendela kereta.

"Aduh, pintar sekali kamu May, bersiaplah dipecat dan kembali pada kehidupan pengangguranmu di Jakarta!" cerca suara batinnya.

Tidak mau berlarut dalam kegalauan, Maya memutuskan akan menjalani masa training dua minggu ini dengan sungguh-sungguh. Setidaknya, sebelum dipecat oleh Darren, ia telah mengantongi beberapa ilmu baru dari perusahaan ternama itu.

Untunglah setengah hari itu dilalui dengan lancar. Jam makan siang, Nora mengajaknya makan di area dekat kantor. Tak mau terkungkung di lantai 50 sendirian karena Bu Cecil hanya bisa mengajarinya hingga siang, Maya pun mengiyakan ajakan Nora dan sekarang di sinilah mereka, warung Indo namanya, kedai yang menyediakan menu khas Nusantara.

"Kamu gak masalah kita makan di sini?" tanya Nora sambil memerhatikan buku menu.

"Kok kamu tahu aku dari Indonesia?"

"Eh, benarkah? Wajahmu tampak seperti orang latin." Nora meraup dagu Maya dan menggerakkannya ke kiri dan kanan, ragu akan ucapan gadis itu.

"Ya, setengah latin dan sisanya Indonesia, akupun besar di Indonesia."

"Waw, aku gak salah pilih tempat makan ya? Ayo, perutku ingin diisi sop buntut. Kau kangen makan apa Maya?"

"Serius di sini ada mie baso? Aku akan pilih itu!" Maya berseru senang melihat isi buku menu.

"So, bagaimana rasanya kerja satu ruangan dengan pria hot nomor satu di DT?" Nora membuka percakapan diseling menyuap makan siang.

The Target --(TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang