Maya akan memanfaatkan Minggu siang bebasnya dengan semaksimal mungkin, karena tiga hari ke depan ia akan mulai mengikuti Darren keliling tiga kota mengerjakan proyek-proyek baru. Baru saja ia akan membuka pintu apartemennya ketika didengarnya suara bel yang ditujukan ke apartemen seberangnya. Maya mengintip siapa gerangan tamu yang berkunjung ke kediaman Darren.
Rambut pirang panjang yang dikuncir satu, postur tinggi semampai, memakai crop top pink dilapisi kemeja putih transparan yang disimpul di depan perut ratanya, celana hot pants dan sepatu boot tinggi, wanita seksi itu terus-menerus menekan bel kamar Darren. Ia menoleh ke kaca jendela di sebelah kiri, membuat Maya mengenali figur sang wanita.
Pintu apartemen membuka, tanpa basa-basi wanita itu langsung menghambur ke arah Darren yang membuka pintu hanya bertelanjang dada dan celana pendek. Wanita itu melompat dan kaki jenjangnya melingkar pas di pinggul Darren. Bibirnya yang bergincu merah ceri langsung membungkam mulut Darren yang hendak protes. Maya terkesiap dari lubang pengintip. Dilihatnya mata Darren yang sekilas menatap ke arah kamar 1506 sebelum lelaki itu menutup pintu kamarnya. Maya menarik napas, bersandar di dinding samping pintu.
"Ya ampun, itu Nona Simmons. Apa dia tahu kalau aku tinggal di sini? Apa dia akan salah paham? Hii, sebaiknya aku pergi sekarang, dia menakutkan!" gumamnya mengambil tas selempang dan memakai sepatu, lalu perlahan keluar apartemen.
Adam mengantar Maya ke mal yang tidak jauh dari apartemen. Ia harus berjarak minimal 5meter dari wanita itu untuk mengawasinya, sesuai titah Darren. Maya sempat protes tapi Adam bersikeras dan akhirnya Maya mengalah. Ia merasa bagaikan orang penting yang harus dikawal kemanapun. Maya masuk ke dalam kafe yang merangkap toko buku. Menikmati segelas milkshake coklat sambil membaca salah satu novel ringan yang ia ambil acak di lemari buku di belakang mejanya, Maya teringat ia belum menghubungi Joey.
["Joey, kau sibuk? Aku di mal, kau mau ke sini?"]
["Hai beb, aku lupa kasih tahu, aku sedang di luar kota sebulan ini, ada kerjaan sampingan baru di bidang keamanan."]
["Wah, selamat Joey. Aku juga akan ke Chicago nanti malam. Tugas pertama sebagai PA DareTrade!"]
["Semoga berhasil, aku sudah merindukanmu, Maya."]
["Aku juga. Jaga dirimu, Joey!"]
Mendesah kecewa, Maya meletakkan ponselnya dan lanjut membaca novel picisan yang tergeletak di meja. Satu jam kemudian, Maya sudah berada di salon yang terletak di lantai dua mal. Ia akan memanjakan dirinya dengan perawatan rambut dan wajah sebelum besok memulai harinya sebagai asisten pribadi sang CEO.
Maya merasa bersalah karena Adam jadi tidak punya waktu beristirahat padahal ini hari Minggu, tapi rupanya Adam menikmati tugas pengawalannya. Ia duduk di kafe seberang salon sambil menikmati dua gelas besar kopi dan sepiring croissant, sabar menanti Maya yang sedang mempercantik diri. Maya sedang membayar hasil rambut barunya ketika Darren mengiriminya pesan agar Maya nanti langsung ke bandara tanpa dirinya karena pria ada urusan lain dan akan menemuinya di bandara. Asisten baru itu mengangguk mahfum dengan urusan tersirat Darren.
Sekembalinya dari mal, di apartemen Maya langsung menyiapkan segala keperluannya ke dalam koper kecilnya. Ponselnya bernyanyi.
"Maya, kau bawa tas kerja navy dan koperku yang ada di kamar tidurku. Saya akan ke bandara secepatnya!" Darren langsung menutup telepon sebelum Maya menjawab.
"Kebiasaan! Aku kan belum bicara apapun, main tutup telepon begitu saja!" Maya menggeleng, masih terkaget-kaget dengan gaya "to the point" Darren.
Setelah memastikan persiapannya selesai, Maya keluar apartemen dan membuka kode kunci kamar Darren. Interior kamar 1505 itu dua kali lipat lebih mewah daripada kamarnya, dan luasnya pun lebih besar. Di meja sofa tergeletak dua gelas wine serta dua piring bekas dari restoran makanan cina. Maya melirik jam tangannya. Masih ada waktu dua jam sebelum ke bandara. Ia akan membereskan kamar Darren.
Beres mencuci gelas dan piring, Maya menyalakan alat penyedot debu yang bisa bergerak otomatis untuk membersihkan area ruang tv. Maya masuk ke dalam kamar tidur Darren dan menutup mulutnya yang terpana. Seprai yang berantakan mengindikasikan baru saja terjadi pergumulan panas di kamar utama bertempat tidur ukuran king itu. Kuduknya meremang dan pikiran erotis muncul begitu saja di benaknya. Maya merasa Darren ada di kamar ini dan akan memeluknya tiba-tiba dari belakang sambil menelusuri lehernya dengan kecupan. Cepat digulungnya seprai berantakan itu sambil berusaha mengenyahkan kilasan adegan-adegan intim khayalan yang membuat tubuhnya terasa panas. Maya langsung memasukkan seprai itu ke mesin cuci dan melapisi tempat tidur itu dengan seprai baru yang ditemukannya di lemari.
"Sial, apa yang kupikirkan? Kau berpacaran dengan Joey, Maya! Darren itu gunung es yang sulit kau jangkau, jangan berani memikirkan hal yang mustahil. Kau itu nggak ada setengahnya dari Jenna Simmons. Ingat posisimu, asisten pribadi!! Kerja Maya, kerja!" Maya merutuki dirinya sendiri, berusaha menyadarkan dirinya dari fantasi sesaat akibat melihat kondisi kamar tidur yang seperti kapal pecah.
Ponselnya bergetar, menyadarkannya kembali pada realita. Pesan teks susulan dari Darren membuatnya geleng-geleng kepala. Atasannya itu menyuruhnya pergi lebih dulu dan akan menemuinya di Chicago besok karena urusannya belum selesai. Maya mengecek keadaan rumah Darren yang lumayan rapi dari sebelumnya. Wanita berkulit eksotis itu segera mengambil koper dan tas kerja Darren, lalu meninggalkan kamar 1505.
Penerbangan ke Chicago tampak ramai walaupun itu adalah penerbangan terakhir pada malam itu. Maya mengecek tiket dan nomor kursinya, memasukkan koper Darren dan tas travel miliknya ke dalam kabin, lalu duduk di kursinya yang terletak di samping jendela.
Dengan serius, Maya mempelajari berkas yang akan dipresentasikannya besok. Setengah jam berlalu dan Maya merasakan desakan ingin mengunjungi toilet. Suasana di dalam pesawat terlihat tenang, sebagian besar penumpang memilih mengistirahatkan matanya. Setelah Maya keluar toilet hendak kembali ke kursinya, dari arah berlawanan tampak seorang wanita berjalan ke arah toilet, tetapi seorang pria yang duduk di kursi dekat lorong tiba-tiba berdiri dan menyenggol wanita itu, sepertinya ia pun terburu-buru hendak ke toilet. Maya memilih melewati lorong sebelah karena kedua orang yang saling bersenggolan itu terlibat cekcok, sepertinya berebut siapa yang berhak lebih dulu ke kamar kecil.
Dua jam lima belas menit kemudian, pesawat tiba di bandara O'Hare. Maya sudah membawa kopernya ke gerbang kedatangan ketika dilihatnya beberapa orang petugas medis dan polisi berlari ke arah lorong pesawat yang ia tumpangi tadi. Penasaran, ia mencuri dengar kasak-kusuk dari petugas bandara bahwa beberapa saat lalu seorang pramugari menemukan mayat seseorang di dalam toilet dengan posisi duduk dan dari mulutnya mengeluarkan busa.
"Ya Tuhan, ada yang meninggal? Apa dia sakit? Aduh, kenapa sudah dua kali ada orang meninggal di sekitarku sih?" batin Maya bergidik dan meneruskan jalannya, mencari taksi menuju hotel.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
The Target --(TAMAT)
ActionMaya Nauli baru saja mendapat pekerjaan sebagai asisten pribadi CEO DareTrade Company di New York. Semuanya seharusnya berjalan baik-baik saja saat satu persatu peristiwa mengenaskan terjadi di sekelilingnya, hingga suatu hari nyawanya menjadi incar...