30

2 1 0
                                    

Suara monitor detak jantung yang stabil mengembalikan kesadaran Darren dari lamunannya mengenai apa yang terjadi pada Maya tiga minggu lalu. Mata berwarna hijau emerald itu mengerjap saat dirasakannya jemari Maya bergerak menyentuh telapak tangannya yang sedari tadi menggenggam tangan gadis itu. Retina biru keabuan Maya bergerak pelan dan berputar, mengernyit mendapati silaunya lampu ruang kaca.

"Hei Putri Tidur, selamat datang kembali." Darren tersenyum lega. Ia mengelus lembut pucuk kepala Maya yang berbalut perban.

Maya berusaha bergerak tapi tangan kekar Darren menahannya.

"Jangan banyak gerak dulu. Lehermu masih pakai penyangga, tangan kirimu patah, kepalamu terantuk batu, kakimu terkilir, beberapa tulang rusukmu retak, dan ajaib kau masih selamat."

Maya menggerakkan tangan kanannya, memberi tanda ingin minum. Darren sigap memberikan air minum yang berada di meja samping ranjang. Dengan rakus, Maya menyedot air dari sedotan hingga tersisa setengahnya.

"Ini rumah sakit? Aku ... selamat? Dia tertangkap?" Darren diberondong pertanyaan yang terucap lemah tapi tergesa.

"Tenang, Maya. Ini di vila Pak Melvin, di sini perawatannya lebih canggih daripada rumah sakit. Kamu selamat, tapi publik tahunya kamu dalam status 'belum ditemukan'. Dia siapa? Joey maksudmu?"

"Maaf ..." Maya mengangguk pelan dan suaranya terdengar lirih. Darren mencondongkan tubuhnya, mengecup dahi gadis itu lembut.

"Untuk apa kamu minta maaf?"

"Lengah pada Joey dan nggak bawa senjata ..."

"Setidaknya kau memakai jam tangan itu. Maafkan aku karena terlambat menemukanmu, Maya."

"Aku ... akan ... menghancurkan Joey ... Dia dan ..." Napas Maya memburu, lidahnya terasa kelu, matanya berat dan kesadarannya kembali menghilang karena masih ada pengaruh bius.

"Tidurlah, kau harus cepat pulih untuk membuat perhitungan dengan bajingan itu!" Suara Darren bergetar sambil menyelimuti Maya.

Darren benar-benar tidak beranjak dari samping Maya. Hampir satu jam ia tertidur dengan posisi duduk sambil bersedekap. Suara ketukan ringan dari luar ruang kaca membangkitkan indera pendengarannya. Darren melirik ke arah ketukan dan menemukan wajah serius Andrew memberi kode agar Darren menemuinya di luar ruang kaca.

"Ada berita apa?"

"Lihat ini!" Andrew menyerahkan tablet yang berisi video. Darren membuka video itu. Terlihat pria berambut hitam sedang berasyik masyuk dengan seorang wanita seksi berambut merah sebahu di sebuah klub malam.

"Siapa itu?"

"Perhatikan baik-baik, Bos. Jika rambut hitam pria itu diganti pirang dan wig merah itu sebenarnya adalah rambut hitam legam panjang, menurutmu siapa?"

"Setan alas! Benar saja, Joey dan Celine!"

***

Sudah seminggu ini Maya berlatih intensif untuk mengembalikan fungsi tubuhnya. Lehernya masih disangga dan tangan kirinya berbalut gips, untuk berjalan pun ia masih dibantu kursi roda.

Angin sepoi-sepoi menerpa helaian rambut Maya yang sedang melakukan peregangan di gazebo vila ditemani seorang instruktur. Darren menunggu di kursi taman sambil memeriksa beberapa berkas yang dikirim Nora dari email. Belum ada satu pembicaraan pun mengenai keterlibatan Celine dan Joey yang diutarakan Darren pada Maya. Pria itu ingin Maya fokus pada kesembuhannya dahulu.

Instruktur kesehatan itu mendorong Maya yang duduk di kursi roda mendekati Darren, dan mohon diri untuk masuk ke dalam vila. COO itu mendongak, menyimpan tabletnya, dan menyerahkan sebotol air mineral pada Maya.

"Sudah selesai? Jangan terlalu diforsir, Maya. Kamu masih punya waktu untuk pemulihan."

"Sudah terlalu lama aku berdiam di sini. Aku sudah siap beraksi, Darren," ujar Maya setelah minum beberapa teguk.

"Tunggulah beberapa hari lagi."

"Tidak, ayo beritahu aku apa yang sudah kamu lakukan."

"Mobil Impala merah yang dia gunakan ternyata sewaan dan sudah dihancurkan di tempat mobil rongsokan. Dia pun sepertinya sudah menghapus semua bukti keberadaanmu di mobil itu. Orang yang berperan sebagai Joey palsu ditemukan tewas, jatuh dari atap hotel. Aku belum membunuh Joey asli, karena menunggu instruksimu. Satu hal terbaru yang kami dapatkan, dia berhubungan dengan Celine," jelas Darren sembari mengamati raut muka Maya saat ia mengatakan nama adik tiri wanita itu.

"Aku lupa memberitahumu soal itu. Celine memang dalangnya. Ia yang menyuruh Joey menghabisi ayah angkatku serta mencoba membunuhku. Kematian sepupuku juga perbuatan komplotannya. Tolong telusuri soal tato jangkar dalam lingkaran, sepertinya tato itu identitas kelompok mereka, habisi jika sudah ketemu!" jelas Maya sambil meraba lehernya yang kaku.

"Jalang rendahan!! Aku akan mengirim pesan pada Andrew untuk menyelidiki tato itu. Kecurigaanku selama ini benar. Sikap si Joey yang terlalu ramah saat kalian pertama bertemu itu memang terasa janggal," gerutu Darren sambil mengetikkan pesan untuk Andrew di ponselnya.

"Memangnya kamu melihatku dan Joey di flat? Kita kan belum bertemu?" Dahi Maya mengernyit, meminta penjelasan.

"Aku memasang penyadap di ponselmu waktu di bandara." Darren mengutarakan hal yang belum pernah diceritakannya itu.

"Tunggu! Apa? Benar kan kataku! Jadi kamu yang sengaja menyenggolku di bandara, berpura-pura baik mengambil ponselku hanya untuk memasang penyadap?" tunjuk Maya tepat di depan hidung mancung Darren.

"Hmmm ..."

"Jadi ... kalian mendengar semua ..., apa video call, telepon, tugas-tugas yang kamu beri itu, alasan untuk menjauhkanku dari Joey, bahkan saat aku dan Joey ...?" Muka Maya memerah, tidak jadi memborbardir Darren.

"Hmmm ... Kematian penjaga flatmu juga kami yakini ulah Joey. Ia mengantar barang belanjaanmu yang tertinggal dan kau memberikannya pada penjaga flat kan? Sepertinya ia memakan makanan yang sudah dibubuhi racun oleh Joey. Racun yang sebenarnya ditujukan untukmu."

"Dan aku terlalu bodoh jatuh pada perangkap pesonanya." Maya mencoba berdiri dari kursi roda, mencoba mengambil tongkat penyangga untuk berjalan yang terletak di samping kursi taman.

"Aku juga terperangkap ..." Darren memberikan tongkat penyangga pada Maya dan menggantung ucapannya. Waktu seolah berhenti sesaat ketika wajah kaukasia dan blasteran asia itu semakin mendekat.

"Maya!" seru seorang pria paruh baya yang masuk ke taman diikuti dua pengawal. Seketika Maya dan Darren terkesiap dan menoleh.

"Paman Ruhut!" Maya yang masih canggung hanya mengangguk hormat pada adik ayahnya itu, sementara Darren merangkul lelaki tua itu dengan erat.

"Paman terlihat segar, bagaimana perjalanan dari Indonesia?" tanya Darren.

"Insiden ini merusak rencana liburanku, Darren. Untunglah, Maya sepertinya bernyawa sembilan. Aku senang kau bertahan, 'Nak! Bagaimana kondisimu sekarang?" ujar Ruhut sambil menyerahkan parcel buah pada Darren.

"Aku tidak akan mati sebelum menghancurkan orang-orang yang cari perkara denganku, Paman." Maya kembali duduk di kursi rodanya.

"Tangguh kali anak Melvin ini, tak sia-sia rupanya darah Batak dari Bapak kau itu ya! Jadi, benarkah Celine yang melakukan ini? Anak itu sama sekali tidak berubah ya? Mereka belum tahu bahwa kau masih hidup, 'kan?"

"Belum saatnya mereka tahu. Aku harus memberi pelajaran dulu pada mereka."

"Baiklah kalau begitu. Apa yang bisa kubantu untukmu?" Ruhut mengeluarkan cerutunya, menyunggingkan seringai yang mengintimidasi.

*

The Target --(TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang