I

35 3 1
                                    

"Iya ini lagi mau nunggu bagasi, paling satu jam lagi Isha sampai rumah." Ujar seorang wanita berkepala dua yang saat ini sedang berdiri di dekat antrean bagasi seraya menempelkan ponsel di telinga kanannya. Tak lama dua buah koper berwarna hitam dengan tag bertuliskan namanya sudah sampai, ia segera mengangkatnya untuk didirikan di lantai.

Ia adalah Falisha, seorang wanita karier yang baru saja kembali ke tanah air setelah 5 tahun tinggal di Kanada. Jangan bayangkan Falisha sebagai seorang business woman atau artis. Ia hanyalah seorang guru di salah satu sekolah internasional di Negeri Pecahan Es itu. Eits tapi jangan salah, di sana gaji seorang guru termasuk ke dalam rentang yang tinggi. Setidaknya mampu untuk menghidupi Falisha dengan lebih dari cukup hingga berhasil mendirikan sekolah sendiri di Indonesia.

Ya, alasannya kembali ke Indonesia karena ia memutuskan untuk fokus membangun sekolah inklusi di negaranya sendiri bersama kedua sahabatnya. Orang tuanya juga meminta bantuan Falisha untuk mengurus sekolah yang mereka miliki. Keluarga Falisha memiliki sekolah berbasis internasional dengan jenjang TK-SMA. Falisha memang mengiyakan ketika orang tuanya meminta bantuan, tetapi ia tidak mau menerima mandat untuk menjadi penerus Ayahnya.

Falisha sadar, ia hanyalah anak angkat yang dengan beruntungnya diadopsi oleh kedua pasangan harmonis karena belum memiliki momongan hingga saat ini. Saat itu Falisha berusia 5 tahun, ia dirawat dengan baik oleh orang tua angkatnya. Ia benar-benar merasakan kehidupan mewah yang sebelumnya tidak pernah ia dapatkan. Ia disekolahkan sampai lulus S3 dengan melalui berbagai kelas akselerasi di jenjang SD-SMA. Oleh karena itu, Falisha sudah sukses mendirikan sekolahnya di usia 24 tahun dan ia berjanji akan membalas semua kebaikan orang tua angkatnya.

Wushhh....tuk.

Tiba-tiba sebuah pesawat kertas terbang menuju ke arah Falisha dan terjatuh di dekat kakinya yang berbalut sepatu kets dengan brand ternama. Setelah mematikan sambungan teleponnya, Falisha mengambil mainan itu dan mencari pemiliknya. Seorang anak laki-laki berusia sekitar 3 tahunan berlari ke arah Falisha dengan raut wajah yang panik.

"Aunty maafin aku, aku beneran nggak tahu kalau pesawatnya bakal ngenain Aunty." Anak itu lalu menunduk untuk menunjukkan rasa bersalahnya.

Falisha tersenyum dan menyamakan tingginya dengan anak kecil itu. "Hey boy, it's okay Aunty maafin kok. Ini pesawatnya, hati-hati ya mainnya nanti kalau sampai terbang ke mesin yang di sana itu malah bahaya loh, mending disimpan dulu nanti nerbanginnya di rumah aja."

Anak laki-laki itu mendongakkan kepalanya menatap Falisha. Astaga matanya indah sekali, batin Falisha.

"Iya Aunty, maaf tadi aku mainin soalnya bosan." Ia lalu mengambil pesawat kertas yang disodorkan Falisha. "Oh iya, Aunty aku boleh minta tolong?"

"Oh boleh dong, asal nggak susah-susah tapi ya," anak kecil itu tersenyum kecil mendengarnya, "Nggak susah kok Aunty, aku cuma mau minta tolong bantu cariin Bapak aku."

Hah? Kenapa permintaan anak itu seperti ambigu di telinga Falisha. Oh apakah yang dimaksud anak itu membantunya untuk mencari ayahnya yang terpisah di bandara?

"Loh kamu daritadi sendirian?" Tanya Falisha setelah terkejut mendengar permintaan anak kecil itu. "Iya Aunty, tadi aku ke sini mau jemput Bapak. Aku berangkat sama Tante Can, tapi tiba-tiba aku diturunin di sini. Katanya dia mau beli makanan dulu terus aku suruh diam nggak boleh kemana-mana, tapi sampai sekarang dia nggak balik-balik."

Falisha tertegun, apakah si Tante Can itu memang lupa atau sengaja membuang anak ini? Ah tidak, mungkin si Tante Can itu masih harus mampir ke toilet ya. Falisha tidak boleh berpikiran buruk.

"Kamu udah lama di sini?" Anak itu mengangguk. "Iya. Tadi angka jam di situ tulisannya 13 sekarang sudah 15. Berarti 15 dikurangi 13," anak itu menghitung jarinya sejenak, "Ah sudah 2 jam berarti Aunty."

Paper PlaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang