VI

10 2 1
                                    

"Itu gajahnya besar sekali, bisa dinaiki Aunty?" Leo bertanya penasaran ketika mereka bertiga sedang berhenti di depan elephant's cage.

Falisha mengangguk mengiyakan. "Bisa, Leo mau naik?" Tanyanya kemudian.

"Mau, mau banget. Bolehkan, Bapak?"

Anak itu tetap meminta izin kepada ayahnya yang sedari tadi hanya berdiri di belakang mereka berdua. Laki-laki itu hanya membantu membawakan tas Leo dan Falisha lalu mengikuti keduanya melangkah kemanapun mereka pergi. Memperhatikan dan mengawasi dalam diam.

"Boleh."

"Yeay, terima kasih Bapak. Ayo Aunty kita naik berdua."

"Loh Bapak nggak kamu ajak?" Falisha bertanya, segan kalau Leo justru mengajak dirinya yang bahkan tidak memiliki hubungan darah sama sekali dengan anak itu.

Leo mengerjap bingung, "Itu tadi yang naik cuma bisa dua Aunty." Ia mengangkat jari telunjuk dan tengahnya untuk menunjukkan angka dua kepada Falisha. "Nanti Bapak duduk dimana kalau ikut?"

"Yaudah Leo sama Bapak aja ya, Aunty tunggu sini aja biar ada yang ngefotoin Leo, gimana?"

Sungguh Falisha merasa tidak enak di depan Abi. Ia seperti sedang menguasai anak orang padahal Abi bapaknya.

"Begitu ya Aunty? Aunty memangnya tidak ingin naik gajah?" Tanya anak itu lagi.

Falisha menggeleng. "Aunty sudah pernah kok. Jadi, sekarang biar Leo sama Bapak aja ya, oke?"

Leo pun mengangguk menurut meskipun sedikit sedih karena Falisha tidak bisa ikut menaiki gajah itu.

Falisha tersenyum senang, Leo benar-benar anak kecil yang tidak sulit diatur dan tidak rewel. Abi benar-benar berhasil mendidik anaknya. Padahal Ia hanya single parent, tetapi Leo benar-benar tumbuh menjadi anak yang baik, attitude-nya tidak perlu diragukan lagi. Falisha benar-benar tak habis pikir, Ia kagum dengan parenting laki-laki itu. Sepertinya nanti Falisha akan berguru kepada Abi agar kelak bisa menerapkan ilmu laki-laki itu ketika Ia sudah memiliki keluarga sendiri.

"Sip anak pintar, tenang aja pokoknya nanti Aunty bakalan ngefotoin Leo dari sini. Dijamin fotonya bakalan bagus."

Leo mengangguk-angguk semangat, Ia percaya sepenuhnya kepada Falisha. Anak itu lalu fokus kembali melihat ke arah gajah yang sedang membawa seorang anak kecil seumurannya bersama ibunya. Leo jadi ingin, tetapi tidak apa nanti dia akan tetap menaikinya bersama sang ayah.

"Padahal saya nggak melarang kalau kamu memang mau menemani Leo." Abi membisikkan kalimat tersebut ketika mereka masih mengantre untuk mendapat giliran menaiki gajah.

Falisha menggelengkan kepalanya, "Tetap saja Bapak orang tua kandungnya, saya nggak enak kalau harus mengganggu waktu yang seharusnya dimiliki kalian berdua saja."

"Tidak apa-apa Falisha, melihat Leo yang merasa senang saya juga sudah ikut senang. Kamu tahu sendiri kan dia selama ini tidak memiliki figur ibu, jadi Ia sangat senang ketika bertemu dengan kamu."

Abi menghela napas dan kembali melanjutkan ucapannya, "Maaf kalau kamu malah saya repotkan lagi padahal ini pertemuan pertama kalian setelah hampir satu bulan ini tidak bertemu."

"No, it's okay Pak Abi. Saya nggak merasa keberatan sama sekali. Saya tahu rasanya jadi Leo, seperti yang orang-orang juga tahu, saya bukan anak kandung dari orang tua saya sekarang. Dulu saya sempat kehilang figur Ibu di usia seperti Leo and it was really hurtful."

"Maaf Falisha saya justru membuat kamu ingat akan hal tersebut."

"Pak Abi ini bukan lebaran, daritadi Bapak minta maaf terus. Saya beneran nggak papa kok, mending sekarang Bapak kasih tas Leo dan saya, biar saya bawa dulu sini."

Abi mau tak mau menurut. Ia dengan berat hati memberikan tas yang sedari tadi Ia bawa. Abi benar-benar tidak tahu kalau perkataannya justru membuat perempuan itu mengingat masa kecilnya yang sama sakitnya seperti yang anaknya sendiri rasakan. Abi jadi tidak enak, mungkin nanti Ia akan mentraktir Falisha agar perempuan itu tidak sedih lagi. Padahal Falisha benar-benar tidak masalah membahas hal tadi, perempuan itu benar-benar sudah berdamai dengan masa lalu.

Setelah mereka mengantre beberapa menit, akhirnya Leo dan Abi sudah berhasil mendapat gilirannya untuk menaiki gajah tersebut. Anak itu benar-benar terlihat senang dan beberapa menit sekali menoleh ke arah Falisha yang sudah siap dengan ponselnya untuk mengambil gambar sepasang anak dan bapak itu. Benar-benar seperti sosok ibu dan istri yang pengertian bukan.

Selesai menjelajah hampir seluruh isi kebun binatang, akhirnya Abi mengajak Falisha dan Leo makan ke sebuah restoran yang letaknya tak jauh dari sana. Leo terlihat masih mengajak Falisha mengobrol, menceritakan semua hal yang tadi mereka lihat di kebun binatang dan betapa senangnya Ia hari ini. Anak itu benar-benar masih memiliki energi yang penuh. Berbeda dengan Abi yang pinggangnya sudah mulai pegal-pegal. Maklum Ia sudah memasuki usia kepala tiga.

Lalu Falisha? Setidaknya perempuan itu tidak selelah Abi, tetapi juga tidak sepenuh energi Leo.

"Oh, jadi ini sebenarnya alasan Mas Abi menghentikan pertunangan kita?" Tiba-tiba suara seorang perempuan muncul di tengah kebersamaan mereka yang sedang menikmati makan siang.

Falisha tahu, perempuan itu adalah orang yang meninggalkan Leo di bandara kemarin. Berarti selama ini Abi memiliki hubungan dengan perempuan itu? Pikir Falisha.

"Bukan, saya memang sedari awal tidak tertarik dengan kamu." Sahut Abi tenang tetap dengan fokus menikmati makan siangnya.

Cantika mengembuskan napas kesal. Malu membuat wajahnya merah setelah mendengar jawaban Abi. Demi menjaga kehormatannya di depan seorang perempuan yang dianggapnya musuh itu, Ia mengambil langkah untuk meraih segelas cangkir berisikan kopi hitam pesanan Abi. Ia menumpahkan isinya ke arah Falisha.

"Dasar pelakor!" Perempuan itu lalu pergi dari sana tanpa bertanggung jawab.

Falisha yang tidak menyangka dengan perlakuan Cantika pun sontak terkejut. Panas kopi menjalar ke kulitnya. Dada dan lengan kanannya menjadi imbas dari perbuatan perempaun jahat tadi. Leo yang memang duduk di dekatnya pun tak sengaja ikut terkena percikan kopi dan masuk ke mata anak tersebut.

"Perempuan gila!"

Abi naik pitam. Laki-laki itu rasanya ingin mengejar dan membalas perbuatan Cantika, tetapi ada Falisha dan Leo yang harus Ia selamatkan terlebih dahulu. Falisha yang tahu Abi panik pun segera menenangkannya.

"Nggak papa, Pak Abi. Tolong urus Leo terlebih dahulu, mata kirinya pasti perih."

Abi mengangguk lalu dengan sigap mengangkat Leo dan membawanya ke toilet. "Maaf Falisha saya bawa Leo dulu, tunggu sebentar ya."

Laki-laki itu meminta salah satu pelayan untuk membantu Falisha dan Ia kembali mengurus Leo setelahnya.

Sore itu Abi langsung membawa Leo dan Falisha pulang ke rumah dengan rasa emosi yang sudah hampir meluap. Ia meminta dokter yang dipercayai keluarganya untuk segera datang ke rumah. Oleh karenanya, setelah mereka berhasil sampai di rumah, Leo dan Falisha segera mendapat pertolongan medis.

Keributan yang dibuat Cantika menghasilkan dua korban sekaligus. Leo yang berakhir iritasi pada mata kirinya dan Falisha yang kulitnya memerah serta sedikit melepuh. Cantika benar-benar di luar nalar, lihat saja nanti Abi akan memberikan balasan yang setimpal kepada perempuan itu. Berani-beraninya dia mengusik singa dan memancing keluar dari singgasananya.

Paper PlaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang