Prolog

15 1 0
                                    

Aruna dan Gabrian sudah berteman sejak kecil, dari pada teman mungkin lebih baik menyebut keduanya saudara. Mereka berdua sangat dekat, dulu.

Seiring bertambahnya usia semakin tercipta juga jarak diantara mereka, mungkin wajar dikarena mereka berdua mengalami masa masa pubertas, namun walaupun demikian sejak dulu mereka berdua selalu berada disekolah yang sama sehingga ada waktu dimana mereka masih saling menyapa.

Di tahun ini Aruna dan Gabrian sudah memasuki kelas dua sma, ya walaupun tidak ada yang berubah diantara mereka, masih dalam kondisi canggung. Aruna masih seperti dulu yang masih periang dan juga Gabrian yang masih saja kompetitif dalam segala hal. Sifat keduanya tidak berubah sama sekali.

Ibu Gabrian sering kali datang ke rumah Aruna sekedar untuk mengobrol dengan Aruna atau dengan ibunya, ibu Gabrian selalu mengeluh tentang Gabrian yang hampir setiap hari selalu pergi, entah kemana tujuannya. Tapi anak remaja memang harus seperti itu kan? apalagi Gabrian adalah pria.

Aruna menghembuskan nafasnya, selesai sudah pekerjaan rumah yang harus dikumpulkannya besok pagi, Aruna tidak paham kenapa guru kimia nya selalu memberikan tugas dengan tenggat waktu yang sangat singkat, apakah ini hukuman karna kelasnya selalu ribut ketika beliau sedang menjelaskan? entahlah.

"Run"

Aruna menoleh mendengar panggilan tersebut. "Iya pa?"

Orang yang disebut 'pa' itupun duduk disamping Aruna, menatap Aruna dengan serius. "Papa boleh minta tolong sesuatu run?"

Aruna menatap wajah ayahnya dengan serius. "Kenapa? minta tolong apa? kok tumben?"

"Papa minta tolong kamu buat jagain mamah ya? papa sama mama udah gabisa sama sama lagi. Jadi papa cuma berharap kamu bisa ngerti, Aruna udah besar kan? jadi papa harap Aruna paham kalo papa sama mama udah gabisa sama sama lagi ya nak."

Aruna terdiam, tidak bisa menjawab.

Hal ini sebenarnya sudah ia prediksi, orangtua nya tidak pernah akur belakangan ini, ditambah beberapa waktu lalu Aruna tidak sengaja mendapati kalau ayahnya berselingkuh dengan rekan kerja nya, sungguh keluarga yang menyedihkan.

Aruna yang pada saat itu mengetahui perselingkuhan ayahnya hanya bisa berharap semuanya adalah mimpi, Aruna enggan memberitahu kepada ibunya, Aruna terlalu takut.

"Aruna, maafin papa ya, papa juga gamau sebenernya kaya gini, papa gasuka kalo harus jauh jauh sama Aruna"

Aruna mengalihkan pandangannya, matanya berkaca kaca, entah keberapa kali sudah ayahnya menyakiti perasaannya atas semua kebohongan, mungkin didepan Aruna ayahnya begitu sedih tetapi dibelakang Aruna mungkin ayahnya senang karna bisa jauh dari Aruna dan ibunya.

"Aruna, maafin papa"

"Kapan sih Aruna ga denger kata maaf terus dari papa? kapan sih semua janji papa tu papa tepatin? aku ga akan pernah lupa waktu aku masih smp papa janji ngajak aku sama mama ke dufan bareng, tapi sampe udah kaya gini pun papa gabisa tepatin janji papa itu. Aku cape denger kata maaf mulu pa, ga semuanya bisa dibayar pakai kata maaf."

"Aruna dengerin papa dulu–"

Tanpa menunggu perkataanbayahnya secara lengkap Aruna langsung pergi meninggalkan ayahnya yang terdiam di sofa, kesedihan yang dipikulnya selama ini membuatnya meledak, Aruna sangat kesal, marah, bahkan sekarang dia baru bisa menangisi semua hal yang telah terjadi.

Disinilah sekarang Aruna, ditaman belakang rumahnya. tidak ada yang spesial disini, hanya dipenuhi oleh tanaman milik mama nya.

Aruna menidurkan tubuhnya direrumputan berharap hujan turun dan dengan begitu tangisnya tidak akan terlihat.

Sambil menatap langit yang gelap, Aruna hanya bisa menangis, bertanya kenapa kehidupannya seperti ini, kenapa semua orang menjauhinya, mengapa semua orang meninggalkannya, mengapa semua orang tidak ada yang peduli padanya.

Apakah memang dia tidak berhak mendapatkan kebahagiaan sedikitpun?

"WOI NGAPAIN?"

Aruna yang baru saja menyeka air matanya terkejut mendengar teriakan seseorang, dilihatnya kiri kanan tidak ada satupun orang.

Ah apa cuma halusinasi karna terlalu sedih ya?

"DI SINI, DI ATAS"

Aruna segera mengarahkan pandangannya keatas dan dilihatnya Gabrian yang sedang memegang dumbbell dilantai dua rumahnya.

Dengan segera Aruna menyeka seluruh air matanya, terlalu malu untuk terlihat menyedihkan seperti sekarang.

"KENAPA?" teriak Aruna.

"LO NANGIS?"

"NGGAK!"

Buru-buru Aruna masuk kedalam rumah, dengan jarak itu tidak mungkin Gabrian melihat Aruna menangis atau mungkin dari awal Aruna disana Gabrian sudah ada disana dan memperhatikannya? ah sudahlah, Aruna menepis seluruh pertanyaan itu, yang terpenting ia harus buru buru saja masuk kedalam rumah.

Rumah Aruna dan Gabrian bersebelahan, rumah mereka hanya dibatasi oleh pagar yang tidak terlalu tinggi. Aruna baru mengetahui kalau Gabrian pindah kamar ke lantai dua rumahnya, karna setau Aruna dulu kakaknya Gabrian lah yang menempati kamar dilantai dua rumahnya.

Belum sempat berjalan kedepan pintu Gabrian meneriakinya lagi.

"LO KENAPA?"

Malas menjawab, Aruna hanya melihat kearah Gabrian dan langsung mengarahkan jari tengahnya kearah Gabrian.

Benar-benar sangat aneh, hampir empat tahun tidak bicara tiba tiba Gabrian mengajaknya bicara, sangat mengagetkan.

Sebenarnya sejak dulu Aruna ingin bertanya mengapa Gabrian menjauhinya, namun Aruna berpura-pura tidak peduli dan kemudian terciptalah jarak yang begitu jauh diantara keduanya, walaupun begitu mereka kadang masih bertegur sapa ketika bertemu, meskipun dipenuhi rasa canggung satu sama lain.

Tapi sekarang terasa aneh, Gabrian memang benar benar makhluk aneh.

ONCE AGAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang