1. Ayo Hijrah

230 76 9
                                    

Namaku Aisyah Az-Zahra, tapi panggil saja aku Aiza. Nama itu, seperti sebuah beban yang mengikatku pada harapan yang tak pernah kumiliki. Aisyah dan Az-Zahra, dua nama yang menggetarkan jiwa dengan kisah cinta epik mereka, sementara aku, hanya duduk di ruang kosong dengan kisah cintaku yang lebih mirip adegan di film komedi romantis.

"Aiza..." seruan lembut menyentuh telingaku, menggema di sudut ruangan yang sunyi. Aku menoleh ke arah pintu kosanku, melihat bayangan penantian yang tak kunjung tiba.

"Aizaa..." panggilan itu semakin terdengar serak, mengalun dalam gelap malam yang semakin mencekam. Suara itu, seolah menyiratkan cerita yang belum selesai, secercah harapan yang bersemi di antara deretan kesunyian.

Jam dinding menunjukkan hampir jam dua belas malam, tepat sebelum puncak kegilaan malam itu terjadi. Aku menatap jam itu dengan tatapan kosong, merenung tentang betapa tidak adilnya hidupku yang terus-menerus membandingkan diriku dengan dua legenda cinta tersebut.

"Izaa, bukan pintunya..." desis suara itu, menusuk ke dalam gelapnya malam dengan kehadiran yang menyeramkan. Aku merinding, bulu kudukku berdiri tegak.

"Setan, ini pasti!" desisku dalam hati, segera diikuti dengan keingintahuan seperti layaknya tokoh utama dalam film horor yang selalu ingin menyelidiki suara-suara misterius.

"Bukaaa..." seruan itu semakin menggelitik rasa takutku. Namun, seperti alur cerita yang sudah terbentuk, aku tak bisa menahan diri untuk tak melangkah maju.

Dengan gemetar, aku membuka pintu, dan di hadapanku, berdiri sosok perempuan dengan wajah pucat, rambut pendek, mengenakan hoodie dan celana jins pendek.

"Dania," seruku kaget.

"Heheheee..." senyumnya melebar, mengungkapkan gigi yang putih seolah memanjangkan rasa ketakutanku. Namun, meski aku tahu dia adalah Dania, aku tetap saja kehilangan kesadaran.

"Woi lah, kalau mau pingsan, pilih-pilih tempat," gerutu Dania dengan suara sinisnya, menghadapi kepolosanku yang terhanyut dalam ketakutan.

~~~

Toelan kasar di kedua pipiku membuyarkan tidurku dengan tiba-tiba, membuatku terhuyung-huyung dalam keadaan setengah sadar. Aku merasakan pipiku terasa sakit, seolah-olah akan copot karena ditarik seseorang dengan kasar.

Ketika aku membuka mata, aku disambut oleh wajah Diana yang tengah memanyunkan bibirnya dengan ekspresi mengejek.

"Kalau mau pingsan tuh ya mbok pilih-pilih tempat. Kamu berat jadi ku seret sampek kasur," dumel Diana dengan nada kesal, sambil menunjukkan ekspresi kesalnya yang tak terbendung.

"Lagian, ngapain tengah malam ke kosan orang," desahku dengan nada jengkel, mencoba menahan rasa malu dan sakit di pipiku.

"Oh, iya, sampe aku lupa. Aku tuh ke sini karena enggak sabar pengen cerita," jelas Diana dengan santainya, sembari cengar-cengir dengan wajah nakal yang selalu melekat padanya.

Rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatiku, seakan-akan aku tahu bahwa cerita yang akan dia sampaikan kali ini pasti akan menimbulkan kehebohan yang besar.

Dalam kegelisahan yang mendalam, aku menatap Diana dengan rasa penasaran yang tak terbendung. Apa yang sebenarnya dia ingin ceritakan? Dan mengapa dia begitu antusias hingga harus mengganggu tidurku di malam yang sunyi seperti ini?

"Aku jatuh cinta," ucap Diana dengan senyum mesam-mesem yang terpampang di wajahnya. Rasanya, instingku ingin sekali menonjoknya agar dia kembali ke realitas.

"Kamu kan tiap hari jatuh cinta sama orang," keluhku dengan nada kesal.

Diana memang tipe orang yang cepat suka dan juga cepat melupakan. Makanya, tak heran jika daftar mantannya terbilang panjang.

"Kali ini beda. Aku yakin dia jodohku," ucap Diana dengan penuh keyakinan.

Aku hanya diam, karena kelelahan yang begitu menyengat membuatku sulit untuk merespons. Lagipula, Diana enggak minta maaf karena telah membuatku pingsan dengan caranya yang menyeramkan tadi.

"Kali ini aku akan memperjuangkan cintaku. Mohon bantuanmu ya," pintanya sambil rebahan di sampingku, mencoba memohon dukunganku.

"Bantuan apa? Tempat curhat? Ogah," sahutku malas, tanpa sepatah kata pun yang menunjukkan antusiasme.

"Kok gitu sih?" Diana terdengar sedikit kecewa.

"Setiap ada masalah dengan cowok, kamu selalu cerita tapi selalu saja berulang-ulang. Udah wareg aku denger kamu ceritain tentang doi yang beda-beda," ucapku dengan sedikit kejengkelan yang tersirat di dalamnya.

Diana terdiam, seakan-akan menyadari bahwa sikapnya yang impulsif dan terlalu sering jatuh cinta membuatku lelah. Aku hanya berharap bahwa kali ini dia benar-benar serius dan tidak hanya mengulang siklus yang sama seperti sebelumnya.

"Kali ini beda. Karena aku suka sama cowok alim," ucap Diana dengan serius, menggulirkan kata-kata yang mengejutkan bagaikan angin segar di tengah malam yang sunyi.

Aku terkejut, sangat terkejut. "Kok bisa?" desakku penasaran, tak bisa menyembunyikan keherananku.

"Jadi begini," ucap Diana, matanya berbinar mengingat momen yang tak terlupakan. "Aku bertemu dengannya di warteg. Dan seperti dalam cerita-cerita cinta yang sering kita saksikan di layar, aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama."

"Cerita macam apa ini, sih?" batin ku, meskipun masih setia mendengarkan cerita Diana, walaupun sudah hampir jam satu pagi.

"Dia terlihat seperti malaikat, tapi tak memiliki sayap. Ketika dia berbicara, ia sopan. Ketika berhadapan dengan yang tua, dia menunduk. Dan ketika berpapasan dengan wanita, dia menjaga pandangannya. Manis, kan?" tanya Diana, masih terus memancarkan senyum mesemnya.

"Entahlah, lanjutkan saja," pintaku, meskipun hatiku mulai merasa tidak enak dengan perasaan aneh yang muncul.

"Dia bernama Nadir, dari bahasa Arab yang bermakna 'yang tercinta dan berharga'," lanjut Diana.

Mendengar nama itu, aku merasa bulu kuduk berdiri tegak, dan ada rasa merinding yang menghantui.

Aku yakin Diana mendapatkan informasi tentang nama itu dari mbah Google. Selain itu, mungkin dia sudah mempelajari banyak hal tentang Nadir, bahkan mungkin tentang silsilah keluarganya.

"Dia suka perempuan muslimah. Makanya, ayo hijrah bareng aku," ajak Diana tiba-tiba.

Aku kaget, tentu saja. Diana yang biasanya mengajakku ke kegiatan yang jauh dari kebaikan bisa dibilang banyak maksiat, tiba-tiba mengajakku hijrah karena sedang jatuh cinta pada cowok alim.

"Gini ya, cowok itu kalau lihat cewek juga lihat temen ceweknya. Kalau temen ceweknya baik, maka ceweknya juga baik." Kata-katanya terdengar sederhana, namun di baliknya tersembunyi pemahaman yang dalam tentang pandangan seorang cowok terhadap seorang perempuan.

Aku sedikit bingung dengan penjelasannya, namun aku juga memahami maksud yang ingin dia sampaikan.

"Jadi ayo hijrah. Siapa tahu kamu dapet jodoh ustadz," ucap Diana dengan nada semangat.

"Hahahaaa... iya," jawabku canggung.

Mana mungkin aku berjodoh sama ustadz, sedangkan aku bisa dikatakan hanya sedikit mengenal agama. Meskipun tidak terlalu dalam, tapi juga tidak bisa dibilang tidak tahu sama sekali.

"Dan aku juga bakalan cerita sama Vani. Dia kan penulis, biar dia tulis tuh kisah cintaku. Kalau kata Rosa sih, kisahku judulnya 'Hijrah Cintaku'," tawa Diana.

Aku hanya mengiyakan saja. Aku bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba mengajak hijrah karena cinta. Pasti ini hanya keputusan yang diambilnya untuk malam ini saja. Pagi hari nanti, kalau ketemu cowok tampan, pasti segala impian tentang cowok alim idaman akan terlupakan. 

Jodoh Dan JokesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang