15. Minder

39 27 10
                                    

Setelah Ivander pulang, tiba-tiba Dania langsung mengamuk ke arahku. Matanya memancarkan kemarahan yang membuatku merinding.

"Kamu tuh gimana sih?" ucapnya dengan nada tinggi.

"Katanya enggak mau berurusan lagi sama mantan? Tapi malah mau diajak makan di rumahnya?"

Aku mencoba menjelaskan, "Ya maaf, udah terlanjur bilang mau," sambil cengengesan. Tapi sepertinya itu malah membuatnya semakin kesal.

Dania yang terlihat lelah akhirnya memutuskan untuk tiduran di lantai. Aku pun mengikuti, mencoba menenangkan diri sejenak.

"Kamu mah manusia yang mudah kegoda sama makanan," heran Diana.

Aku mendengarkan ucapannya dengan senyum yang kecut. Ya, bagaimana tidak? Bagi orang lain mungkin hal itu terlihat sepele, tetapi untukku, mendapatkan makanan bukanlah hal yang mudah.

"Dania, kamu kan tahu aku mudah tergoda dengan makanan," aku merespons dengan nada rendah, tetapi tidak bisa menyembunyikan sedikit kekecewaan di suara itu.

"Kamu kan tahu gimana ekonomiku," ujarku, mataku menatap langit  kosanku. 

"Kalau ada yang nawarin makan, ya alhamdulillah."

Kalimat itu keluar begitu saja dari bibirku, tapi sejujurnya, kata-kata itu mengandung begitu banyak makna bagiku. Makanan bukanlah hal yang bisa kupastikan setiap hari, dan ketika kesempatan untuk mendapatkannya muncul, itu seperti anugerah.

Aku memikirkan perjuanganku, hari demi hari, untuk menyeimbangkan kebutuhan sehari-hari dengan keterbatasan ekonomi yang kurasakan. Terkadang, rasanya seperti aku sedang berada di ujung tanduk, berharap ada cahaya di ujung terowongan yang gelap.

"Awokawok. Sedih sekali," ledek Diana sambil terkekeh. 

"Dasar," balasku sambil ikut tertawa. 

Memang, hanya dengan tertawa kami bisa melupakan sejenak penderitaan yang kami alami. Itulah salah satu keajaiban persahabatan, membuat beban terasa lebih ringan.

"Besok makan yang banyak. Ambil tuh nasi dua piring," usul Diana dengan tiba-tiba, matanya berbinar penuh semangat.

"Iya, benar! Aku malah mau bawa rantang dari rumah," jawabku sambil tertawa. Ide Diana benar-benar membuatku tertawa ngakak.

Kami berdua saling memandang, masih terpingkal-pingkal karena kegilaan ide makanan kami. Mungkin bagi orang lain, ini adalah hal kecil yang tidak layak untuk diekspresikan dengan tawa sebesar ini. Tapi, untuk kami ini lucu.

"Jangan berisik!" celoteh tetangga sebelah yang sepertinya terganggu dengan tawa kami.

Kami hanya tertawa lebih keras mendengar teguran itu, mengetahui bahwa tak ada yang bisa menghentikan kebahagiaan kami. Mungkin hidup memang tak selalu indah, tapi dengan memiliki teman seperti Diana, setidaknya aku tahu bahwa aku tidak pernah sendirian.

~~~

Hari libur tiba, dan aku memutuskan untuk bermalas-malasan di kosan. Diana juga sudah pulang ke rumahnya, jadi aku ditinggalkan sendirian dalam kesendirianku. Suasana rumah hening, hanya dihiasi dengan suara halus angin yang masuk lewat jendela terbuka dan suara gemericik air pancuran.

Kemudian, di siang hari, aku memutuskan untuk pergi ke rumah Ivander.

Aku memilih mengenakan baju gamis berwarna biru muda dan jilbab hitam, berharap tampil santai namun tetap rapi. Ketika melihat diriku di cermin, ada sedikit kebanggaan yang muncul. 

"Manis banget sih aku," gumamku sambil berlenggak-lenggok seolah-olah aku adalah seorang model.

Namun, tiba-tiba aku terhenti dalam gerakanku. Perasaan bersalah menyelinap masuk begitu saja.

Jodoh Dan JokesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang