13. Aku Munafik

48 31 1
                                    

Kami berempat duduk bersila di pelataran masjid, angin sepoi-sepoi seakan memeluk kami dengan lembut. Cendol segar menggoda di tangan kami, menawarkan kesegaran di tengah teriknya hari. Tetapi, suasana yang tenang itu seketika terguncang oleh ucapan Varen yang mengejutkan.

"Jadi, gini kita akui kalau kita dulu itu kelakuannya kayak dakjal," ucap Varen, mengundang keheningan yang membebani.

Perasaanku mulai gelisah. Perbincangan tentang masa lalu selalu menyulut ketidaknyamanan di lubuk hatiku. Was-was mulai menggerayangi pikiranku, membingungkan hati yang sudah rapuh.

"Dulu ku akui aku salah. Dulu kita memang punya hubungan dan hubungan itu lepas karena aku yang lebih percaya pada Safira dibandingkan kamu karena alasan aku lebih dulu menganal Safira ketika aku kecil," jelas Ivander, mengurai benang-benang kisah yang terjalin di masa lalu.

Aku merasa seperti terperangkap dalam pusaran waktu, terseret kembali ke masa silam yang penuh dengan rahasia dan penyesalan. Ivander melanjutkan ceritanya, membuka luka-luka yang terpendam dalam hati kami.

Aku tahu betul bahwa dalam permainan kehidupan ini, orang baru sering kali kalah dengan orang lama. Meski tidak selalu demikian, tapi dalam kisahku, aku memang kalah dengan masa lalunya.

"Aku kira kau cemburu, makanya kau selalu mengganggu Safira dan posesif padaku," ucap Ivander, mengungkapkan sesuatu yang sebelumnya tak terungkap.

Aku memang dulu pernah merasakan cemburu, tapi dalam artian yang berbeda. Rasanya begitu menyakitkan ketika pasangan kita tampak lebih dekat dan perduli dengan orang lain. Masa remaja memang masa yang penuh dengan kebingungan, dan bagi kami, memiliki sesuatu yang seharusnya menjadi milik kita, namun ternyata lebih diperhatikan oleh orang lain, terasa seperti pukulan yang tak terduga.

"Nyatanya, Safira yang memulai segalanya. Dia melakukan banyak permainan supaya kamu tampak buruk di mataku," ujarnya dengan jujur.

Aku terdiam. Benar juga, kesalahan dalam hubungan kami tidak hanya berasal dari satu pihak. Ada bagian dari Safira yang juga terlibat dalam kesalahan ini. Ivander melanjutkan, membuka lembaran yang terlupakan dalam memoriku.

"Aku membentakmu, bicara dengan suara tinggi, dan pada akhirnya, aku membulimu," kata Ivander dengan lirih.

Sejujurnya, aku sudah lupa akan insiden tersebut. Tetapi, dia mengingatkanku, memaksa aku untuk menghadapi kenyataan bahwa masa laluku memang penuh dengan kesalahan dan penderitaan. Aku hanya bisa tertawa getir dalam hati, menertawakan kisahku sendiri yang kini terasa begitu menyedihkan di masa lalu.

"Dan aku minta maaf," ucap Ivander, suaranya terdengar lembut sembari menunduk, mengisyaratkan penyesalan yang mendalam.

Raener menyusul, "Dan untukku dan Varen, kita juga minta maaf. Kita membenci kamu karena sahabat kami membencimu."

Varen mengangguk setuju, menambahkan, "Iya, kita minta maaf atas masa SMA-mu yang tidak menyenangkan."

Hatiku terasa terkoyak oleh pertanyaan yang terus menghantui pikiranku. Apa yang seharusnya kukatakan? Apakah aku harus melangkah maju dan membeberkan kejujuran yang terpendam di dalam hatiku?

Rasa gelisah yang melanda tubuhku terasa begitu kuat, mengguncang setiap serat keberanian yang tersisa di dalam diriku. Tapi, entah mengapa, ada suara kecil di dalam hatiku yang memaksaku untuk berani menghadapi kenyataan, berani mengungkapkan kejujuran yang selama ini terpendam.

"Sejujurnya, disini aku juga salah. Aku memanfaatkan Safira untuk bisa putus denganmu," ucapku dengan suara yang penuh penyesalan.

Aku merasa hatiku berdegup kencang saat kata-kata itu meninggalkan bibirku. Mataku terpejam rapat, takut untuk melihat reaksi mereka. Bagaimana mereka akan menanggapinya? Akan ada kekecewaan, kemarahan, atau bahkan penolakan?

Bayangkan betapa rendahnya seseorang bisa jatuh, memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuannya sendiri. Begitu rendahnya aku telah menjadi, merusak hubungan yang sudah rapuh dengan cara yang begitu kotor dan tidak bermartabat. Aku merasa seperti seorang munafik yang menyamar dalam topeng kebohongan, mempermainkan perasaan orang lain hanya untuk memenuhi keinginan egoisku sendiri.

"Aku tahu aku jahat," ucapku dengan suara yang gemetar, mencoba menembus rasa malu dan penyesalan yang melanda hatiku. "Tapi saat itu, aku benar-benar lelah. Titik puncaknya adalah ketika aku dan Safira sedang berdebat, dan Ivander membelanya. Aku pikir momen itu tepat untuk meminta putus."

"Aku tahu Ivander tidak akan meminta putus karena itu adalah janjinya. Kita tidak akan mengakhiri hubungan jika aku tidak memintanya. Maka dari itu, aku memanfaatkan situasi itu untuk  meminta putus darinya" lanjutku dengan suara yang semakin tercekik oleh emosi.

"Aku pindah sekolah memang karena kalian. Jadi, setelah putus dengan Ivander, aku memutuskan untuk menghilang," aku menambahkan, mencoba menjelaskan alasan di balik tindakanku meski rasanya takkan pernah bisa benar-benar membenarkan apa yang telah kulakukan.

"Namun, nyatanya dengan cara menghilang tidak membuat masalah itu menghilang, malah semakin memperbanyak cabangnya," ucapku dengan suara penuh penyesalan.

Saat kata-kata terakhir meluncur dari bibirku, aku merasa seolah-olah semua beban yang selama ini kusimpan di dalam hatiku telah terlepas. Namun, yang tersisa hanyalah perasaan hampa dan rasa bersalah yang tak terbendung. Aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti, aku harus menghadapi konsekuensi dari tindakanku dengan penuh keberanian dan tanggung jawab.

"Itu wajar," ucap Ivander dengan bijaksana, menghembuskan napas lega di dalam hatiku.

 Reaksi mereka membuatku terdiam, tercengang oleh ketulusan dan kedewasaan yang mereka tunjukkan. Aku mendongak, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin mereka bisa begitu cepat memaafkan dan melupakan semua kesalahan yang telah kulakukan? Padahal, aku juga jahat loh. Aku memanfaat situasi supaya aku yang terlihat paling tersakiti, padahal sebenarnya aku biasa saja.

Kemudian, suara Varen dengan nada dingin menyentakku dari lamunanku. "Kalau aku jadi kamu, aku akan lakukan hal yang sama, bahkan balas dendam," ucapnya dengan tegas, membuatku merinding oleh kekerasan dalam kata-katanya. Mereka masih sama seperti dulu, tidak ada yang berubah.

"Jadi, udah selesai kan masalahnya? Kita bisa berdamai sekarang dan jangan bahas masa lalu lagi," pintaku dengan suara penuh harap, berusaha menutup lembaran masa lalu yang penuh dengan luka dan kesalahan.

Aku merasa seperti di ambang keputusan yang sulit. Di satu sisi, aku merindukan kedamaian dan keselarasan yang telah lama hilang di antara kami. Tetapi di sisi lain, rasa bersalah yang terus menghantui hatiku membuatku ragu untuk memaafkan diriku sendiri, apalagi mengharapkan mereka memaafkanku.

"Masalah kita memang udah selesai. tapi, ku harap kita masih bisa komunikasi," ucap Rainer. 

Dalam keheningan yang menyelimuti kami setelah kata-kata Rainer, hatiku terasa berdebar-debar dalam kebimbangan yang tak terkira. Bagaimana mungkin aku harus menjalin komunikasi dengan mereka setelah semua yang terjadi? Meskipun masalah kita sudah dianggap selesai, tetapi pikiranku masih dipenuhi dengan keraguan dan kecemasan yang tak terbendung.

"Iya," ucapku dengan suara yang hampir saja tercekik oleh keraguanku. Aku mencoba menahan diri agar tidak memperlihatkan ketidaknyamanan yang melanda hatiku. Meskipun sebenarnya, dalam hatiku berteriak tidak, tidak mau, tidak Roman.

"Makasih," ucap Ivander dengan suara yang hangat, menciptakan kelegaan di tengah kebimbangan yang melingkupi kita semua.

"Dengan senang hati," jawabku, dengan senyum yang tulus di wajahku. 

Jodoh Dan JokesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang