3. Sepertiga Malam

133 68 0
                                    

Aku berada di ruang dosen, di tengah kesibukan yang mengelilingi ruangan itu. Dosen-dosen lain juga terlihat sibuk dengan urusan masing-masing. Aku duduk di depan Pak Adimas, terpisahkan oleh mejanya.

Pak Adimas, seorang dosen muda yang masih jomblo dan menjadi idola di antara para mahasiswi. Terbersit sebuah pikiran, apakah beliau menyukai diriku? Bagaimana mungkin, seorang dosen yang begitu luar biasa seperti beliau tertarik padaku?

"Saya memintamu datang ke ruangan saya karena saya ingin menanyakan sesuatu," ucap Pak Adimas dengan serius, membuat jantungku berdebar kencang.

Lagi-lagi, otak kecilku bertanya-tanya, apakah Pak Adimas menyukai aku? Pikiran itu terlintas begitu saja, meskipun aku segera mengusirnya karena terdengar begitu tidak masuk akal.

"Kamu kenal Yulia kan?" tanyanya, membuyarkan lamunanku yang terbang ke alam khayal.

Hatiku berdegup kencang, tapi segera aku menyadari bahwa spekulasi tentang Pak Adimas menyukai aku hanyalah khayalan belaka. Jenderal, aku sudah mengatakan bahwa itu tidak mungkin, ya tidak mungkin.

"Saya kenal, Pak. Dia anaknya ibu kosan saya," jawabku, berusaha menampilkan senyuman seolah tidak terpengaruh oleh ketegangan dalam hatiku.

"Sebenarnya saya menyukainya, tapi bingung harus bagaimana," curhat Pak Adimas tiba-tiba, mengungkapkan perasaannya padaku.

Rasanya, seketika itu, aku merasa seperti kanvas yang menampung semua warna cerita yang ingin diungkapkan orang-orang di sekitarku.

"Saya minta tolong padamu, berikan ini padanya," pintanya, seraya meletakkan sepucuk surat di mejanya.

Aku berpikir, bukankah sekarang sudah zaman moderen? Mengapa ia tidak mengirim pesan lewat WhatsApp atau DM Instagram? Dan lagi, aku bukan kantor pos?

"Saya akan kasih kamu nilai yang tinggi di semester ini," tawarnya, memberiku janji yang membuat hatiku melonjak kegirangan.

"Baik, pak," refleksku, tanpa ragu menerima tawarannya.

Aku mengambil surat itu dan dengan hati-hati menyimpannya dalam tas, sesuai instruksi Pak Adimas.

"Jangan kamu baca ya, langsung kasih ke dia," pesannya lagi.

Aku menyanggupi dengan mantap, mengedepankan prinsip kepercayaan dan kesetiaan.

"Bapak tenang saja, saya orangnya amanah," ucapku dengan keyakinan yang menggema di ruangan itu.

"Terimakasih, kalau begitu kamu boleh pulang," kata Pak Adimas, memberiku izin untuk pergi.

Aku merasa terusir tapi enggak papa. Aku juga mau ngademin kepala dan hati.

"Baik, pak," pamitku, dengan langkah yang penuh keyakinan, aku meninggalkan ruangan ini.

~~~

Setelah memberikan surat itu pada perempuan yang berhak, aku kembali ke kosanku, seolah kembali ke dunia nyata.

Namun, saat aku memasuki kamar, ada Diana, yang sudah nyaman rebahan di atas kasurku. Aku tak terlalu kaget melihatnya di sana.

Seiring waktu, aku jadi terbiasa dengan kehadirannya, mengingat dia juga punya kunci cadangan untuk masuk ke dalam kosanku.

"Mukamu buluk banget," goda Diana dengan suara ringan, seperti biasanya. Tak ada yang mengejutkan dari komentarnya.

"Katanya mau hijrah, tapi mulutnya masih suka nyinyir," ejekku, berusaha membalas ejekan Diana dengan candaan. Kami telah terbiasa saling ejek, tapi dalam setiap kata selalu tersemat keakraban di antara kami.

"Entahlah, nyinyir itu kayak udah bersatu sama mulutku," ucap Diana sambil tertawa, suara tawa bergema di dalam kamar.

"Tapi, ya, masih belajar sih mengendalikan mulut yang udah kebiasaan julid," tambahnya, mencoba meredakan suasana dengan canda.

Jodoh Dan JokesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang